Renungan Awal Tahun 1439 H

Oleh Dadang Kusnandar*)

TAHUN terus berganti. Manusia semakin asik dengan urusan duniawi. Gemerlap dunia memacu dan memicu keinginan untuk eksis menjadi diri sendiri. Kilau dunia nan menyilaukan itu membuat pandangan mata kadang salah menangkap makna di balik wujud yang terlihat.

Tahun pun terus berganti seiring sunatullah berikut segala fenomena kemanusiaan serta dinamika kehidupan. Tanpa henti di setiap perjumpaan kerap terlontar, “Yang penting bagaimana kita gampang memperoleh uang”.

Ya, sepertinya hidup ini hanya bicara uang dan pemenuhan kepuasan jasad. Jasad yang sesungguhnya hanya merupakan kulit ruhani itu secara sadar dituruti segala kehendaknya.

Mata yang salah melihat dan gagal mengungkap bashirah, hati yang tertutup kabut hingga menyebabkan kegagalan menangkap kesejatian ~adalah pertanda betapa selama ini kita tidak lebih bagai penyembah berhala. Berhala itulah yang diam-diam menuntun kita menjadi hamba setia agar menjauh dari Pintu-pintu Tuhan.

Pengajian berkala dwi mingguan di kantor PC Nahdathul `Ulama (PCNU) Kota Cirebon yang dihantarkan Kiai Sutejo Ibnu Pakar mengurai tentang penyebab kematian hati. Rabu malam 22 Februari 2017 dari kitab Syarah Al-Hikam fatsal Iqodzul Himam beraksara Arab tanpa harakat.

Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu, menyampaikan bahwa penyebab kematian hati antara lain hubbud dun`ya. Cinta dunia melebihi cinta kepada Allah swt. Penyebab kedua ialah lupa mengingat Allah. Dan ketiga membiarkan anggota badan berlaku maksiat kepada Allah swt.

Tiga penyebab kematian tersebut di atas agaknya relevan untuk kita kaji sebagai bahan kontempelasi pada pembuka awal kalender tahun Islam 1439 Hijriyah. Kematian hati yang didorong oleh segenap nafsu badani, nafsu yang menguasai jasad. Meski kita semua mahfum bahwa jasad akan berakhir.

Kita bisa melihat tanda-tanda kematian hati apabila pada sebuah renungan tergerak untuk menghisab diri sendiri sebelum datang hisab sesungguhnya di akhir nanti. Tanda-tanda tersebut adalah tidak kecewa/ tidak menyesali ketika tidak taat kepada Allah swt.

BACA JUGA:  Jelang Beroperasi, BIJB Seleksi Warga Kertajati

Berikutnya tidak kecewa manakala mengerjakan kesesatan. Dan ketiga, bergaul dengan orang yang melupakan kematian.

Dalam kaitan ini penting sekali melaksanakan dzikurullah baik secara qauli (perkataan) dan fi`li (perbuatan). Mengingat Allah sepanjang waktu merupakan tugas ruhani yang harus dilakukan oleh jasad alias tubuh pembungkus ruhani.

Mengingat Allah dengan dua pendekatan itu memungkinkan kita untuk mengatasi persoalan dunia dengan cara-cara ukhrawi. Di sisi lain ketaatan hamba kepada ilahi pada dasarnya adalah indikator untuk kebahagiaan pelakunya sendiri. Bukan untuk Allah swt.

Pergantian tahun baru Islam yang oleh sebagian muslim disyukuri dengan melaksanakan puasa satu hari sudah pasti dibarengi dengan kontempelasi atas segala laku lampah tahun yang ditinggalkan.

1438 Hijriyah yang mungkin saja berlumur dosa dan petaka hati, lantaran terbius berjuta angan menyangkut recovery ekonomi ~sebaiknya disisipi pertanyaan, “Telah tertutupkah hati kita?”.

Hidup dan Terbuka

Usai menyadari ketertutupan hati, maka insya Allah hati kita jadi terbuka dan hidup kembali. Kiat untuk membuat hati terbuka dan hidup ialah memanage persoalan dunia, sibuk mengingat Allah, dan berkawan dengan kekasih Allah.

Mengurus persoalan dunia atau memanage masalah duniawi melalui pendekatan agama, kini telah banyak dilakukan kaum muslim. Hal itu terlihat dengan semakin banyaknya kesalehan sosial yang terbaca dari status/ posting personal di media sosial.

Berharap semoga penulisan status/ posting personal itu bukan berangkat dari riya, kiranya kaum muslim Indonesia khususnya kian mampu membukakan dan menghidupkan hati. Sebaliknya semoga terhindar dari ketertutupan hati.

Ada pun kesibukan mengingat Allah sebenarnya terekam dalam banyak ayat suci Qur`an. Bahwa dzikrullah itu disebutkan, “Wa dzakarallaha katsiro”, mengingat Allah sebanyak-banyaknya. Sepanjang waktu dan aliran napas. Ini secara qauli.

Sementara secara fi`li, ialah menerapkan ajaran Islam manakala melakukan tindakan apa pun. Tentu saja ajaran Islam yang tidak menyakiti siapa pun. Tidak menyakiti dan tidak menghakimi kelompok mana pun.

BACA JUGA:  Mahasiswa KKNM Ajak Masyarakat Kembangkan BUMDesa

Berislam yang rahamatan lil `alamin sesungguhnya berislam secara menjauhkan hati dari prasangka terhadap sesama muslim, pun terhadap sesama manusia dan mahluk Tuhan. Berpatokan kepadanya, jargon “Al Islamu ya`lu wala yu`la alaihi”.

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (dari Islam), bukan tong kosong nyaring bunyinya. Bukan nyanyi sunyi seorang bisu. Begitu pun bukan lolong senyap di gulita malam.

Yang tak kalah penting juga berkawan dengan dengan kekasih Allah. Habibullah pada masa kini bisa saja ada di sekitar kita. Sepanjang hati kita telah hidup dan terbuka serta mampu menyingkap Nur Allah, Nur Muhammad ~para kekasih Allah itu kelak akan membimbing perjalanan hidup kita. Mereka ada dan mungkin saja menyatu dalam diri kita.

Supaya kebersatuan dengan para kekasih Allah menyergap keseharian kita, terlebih memasuki tahun 1439 Hijriyah, maka jangan sesekali kita lupa kepada Allah. Dosa paling besar yang sukar diampuni tidak lain ialah lupa kepada Allah.

Ketika (sadar atau tidak) kita lupa kepada Allah, perilaku maksiat berkuasa dan menimbulkan kecelakaan fatal atas spiritualitas keagamaan kita.

Namun mesti diingat, jika hati hidup dengan nur/ cahaya keimanan maka akan disakiti oleh kemaksiatan. Demikian pula hati yang hidup dengan keimanan akan disakiti oleh penyakit hati.

Kembali ke awal tulisan pendek ini. Tahun 1439 H yang bermula pada tanggal 1 Muharam, hijrah itu sendiri artinya berpindah, bisa jadi berpindah dari satu tempat ketempat lain, atau berpindah dari suatu peristiwa ke peristiwa lain, atau berpindah dari perilaku satu ke perilaku lain, menuju pada hal yang lebih baik dari sebelum perpindahan.

Jadi, jika umat Islam stagnan pada satu keadaan, apakah perilaku, kondisi, dan wilayah dan tidak menunjukkan perubahan pada sesuatu yang lebih baik, maka sesungguhnya dia telah meninggalkan ruh hijrah itu sendiri. @

*) Penulis adalah jamaah pengajian NU Cirebon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *