– dok KITLV
– DELEGASI Pemuda Arab Indonesia (PAI) dari Cirebon (kiri), saat kongres PAI berlangsung (kanan)
Oleh: Nurdin M Noer*
PADA masa awal abad ke-20 atau tahun 1900an sejarah Indonesia di Cirebon mencatat sebagai masa kegairahan kalangan muda untuk bangkit membentuk berbagai organisasi. Di Semarang pada 4 Oktober 1934 kalangan muda dari etnis Arab membentuk PAI (Persatuan Arab Indonesia) dan mengucapkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab dan pada 1938 melakukan Kongres di Cirebon (Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab, Mizan, 1996).
Di saat itu pula, AR Baswedan mengumpulkan para peranakan Arab dan mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Sumpah Pemuda 1928 yang melintasi batas-batas etnik dan agama berpengaruh pada orientasi kebernegaraan komunitas Arab Hadrami di Hindia Belanda.Hasan Bahanan, pengamat masalah keturunan Arab di Indonesia.
Menurut pengamat masalah keturunan Arab di Indonesia, Hasan Bahanan, apa yang dilakukan AR Baswedan (yang saat itu berusia 27 tahun) dan kawan-kawan itu terinspirasi Sumpah Pemuda 1928.
“Sumpah Pemuda 1928 yang melintasi batas-batas etnik dan agama berpengaruh pada orientasi kebernegaraan komunitas Arab Hadrami di Hindia Belanda,” kata Hasan kepada BBC Indonesia. Dalam buku AR Baswedan, Membangun Bangsa, merajut Keindonesiaan (2014), “Sumpah Pemuda keturunan Arab” itu memiliki tiga butir pernyataan:
Pertama, Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia; Kedua, peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri); Ketiga, Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia (bbc.com).
Menurut Algadri, tak kurang pentingnya usaha PAI di bidang politik adalah usahanya memersatukan keturunan Arab yang sebelumnya terpecah belah dalam pertentangan di antara dua golongan Arab dan keturunan Arab, golongan Al-Irsyad dan Ar-Rabitah. Sejak berdirinya PAI, banyak orang keturunan Arab yang berada dalam kedua golongan tadi meninggalkan kedua golongan itu dan bergabung dalam PAI dan oleh karena pertentangan di antara kedua golongan mereda.
Dalam PAI, orang-orang dari kedua golongan terdapat bersama-sama dalam pimpinan pusat maupun pimpinan cabang. Ketua Pengurus PAI yang sebelumnya adalah dari golongan pertama, ialah A.R. Baswedan. Pada akhirumur PAI ketika organisasi itu dibubarkan oleh Jepang, pemimpinnya adalah seorang dari golongan yang kedua, yakni H.M.A. Husin Alatas, seorang teman Moh. Husni Thamrin. Seperti juga Utsman bin Yahya tidak berhasil memengaruhi keturunan Arab untuk menjauhkan diri dari gerakan Pan-Islam Indonesia, begitu pula Mochamad Alamudi tidak berhasil menjauhkan keturunan Arab dari gerakan nasional Indonesia. Untuk kesekian kalinya usaha Belanda untuk memisahkan keturunan Arab dari masyarakat Indonesia gagal.***
*penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.