oleh

Pemerintahan Sipil Cirebon

Oleh Dadang Kusnandar

TANPA perlawanan sengit, pasukan NICA (Nederland Indiesche Civil Administration) menduduki Cirebon. Kekuatan pasukan NICA yang luar biasa dengan mudah menekuk Kota Cirebon dan sekitarnya pada 23 Juli 1947.

Selain di bidang operasional NICA membentuk pemerintahan sipil yang juga bernama NICA untuk menjalankan roda pemerintahan di Kota dan seluruh Karesidenan Cirebon.

Tentara Republik Indonesia (TRI), pegawai negeri dan rakyat yang tidak mau bekerja sama dengan NICA mengungsi ke luar kota dan menyusun kekuatan untuk mengadakan perlawanan terhadap pihak militer Belanda. Rakyat secara umum mendukung para pengungsi baik tenaga maupun perbekalan.

Awal Juli 1947 baru saja disusun pemerintah RI dari pusat sampai ke desa. Pusat pemerintahan Karesidenan Cirebon berada di Ciwaru Kabupaten Kuningan.

Sedangkan pemerintahan Kabupaten Cirebon (termasuk pemerintahan desa) selalu berpindah mencari tempat yang dianggap aman dari target operasi militer Belanda.

Berhasilnya penyusunan pemerintahan RI hingga ke desa-desa memungkinkan roda pemerintahan dapat berlangsung secara sembunyi-sembunyi.

Pegawai Negeri yang menolak berkolaborasi dengan Belanda diangkat untuk mengisi kekosongan pegawai di tingkat kewedanaan dan kecamatan.

Cara pelaksanaan pemerintahan bagi daerah pinggiran Kota Cirebon diatur sebagai berikut: Untuk menghindari tindakan pihak militer Belanda maka kepala desa dan pamong desa agar bekerja di desa masing-masing dan diijinkan menemui pemerintah Belanda dengan syarat dilarang melaporkan pasukan TRI dan membuka rahasia.

Kenyataannya pemerintah Belanda tidak bisa menjangkau hingga ke desa, hanya bisa sampai kecamatan.

Walaupun pemerintahan sipil RI berjalan sembunyi-sembunyi ternyata dapat berlangsung dengan baik. Uang Pajak Bumi atau Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) bisa dipungut dan dikelola hingga ke pemerintah RI.

Jika pemerintah Belanda menanyakan pajak, kepala desa menjawab tidak berani memungut karena takut jadi korban kaum gerilya.

Demikian pula sawah titisara desa bisa dilelang sebagaimana biasa dan uangnya digunakan oleh desa. Uang hasil pajak dan lelang sawah desa biasanya digunakan untuk perbekalan perjuangan mempertahankan negara RI.

Pada masa Perjanjian Renville ketika tentara harus hijrah ke Yogyakarta, pejabat sipil pemerintahan RI ditugaskan untuk menampung perbekalan untuk menerima kembali tentara RI di Jawa Barat setelah hijrah. Dan juga ditugaskan untuk memelihara simpati rakyat agar tetap memihak pada pemerintah RI.

Paska TRI hijrah dan kembali menduduki Jawa Barat disusun kembali pemerintah RI disamping pemerintah militer RI. Mantan pejabat pemerintah RI pada Clash ke I (pra Renville) sebagian besar diangkat kembali menduduki jabatannya, meski pun merangkap sebagai pasukan gerilya.

Penyerahan Kedaulatan RI 27 Desember 1949 juga merupakan serah terima jabatan antara pejabat pemerintah Belanda (dengan istilah Pemerintah Rekomba) dengan para pejabat pemerintah RI.

Misalnya Bupati Rekomba dengan Bupati RI, Camat Rekomba dengan Camat RI. Sejak itulah pemerintah RI berdiri tegak dengan para pejabat sipil yang berasal dari kaum gerilya.

Lantas dilakukan rasionalisasi di kalangan pasukan. Bagi para pejabat yang berasal dari pamong praja diberhentikan dengan hormat dari ketentaraan, sehingga bisa melaksanakan tugas sebagai pamong pamong praja/ pejabat sipil.

Catatan di atas dinukil dari tulisan R. Anami Moch. Djaka yang saat itu menjadi Camat RI Cirebon Selatan Kabupaten Cirebon. Pada saat bersamaan ia juga adalah Kepala Pusat Administrasi Kodim Cirebon Selatan dan pasukan Yon 315 dengan pangkat Sersan Mayor.***

Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Komentar