Menghapus Peran Agama?

Oleh Sutejo Ibnu Pakar
Penulis adalah Dosen IAIN SNJ Cirebon

PERADABAN  Timur dan Barat berbeda-beda memandang esensi manusia. Barat, yang sekular dan tidak mengandung wawasan yang kudus, telah menjadi polemik  karena kehilangan tujuan sebenarnya, pengetahuan dipahami secara keliru, demikian telah menyangkut kesangsian dan skeptimisme dan beberapa hal agnostisisme, ketingkat metodologi ilmiah dan dengan itu telah menimbulkan kekacauan di semua bidang pengetahuan manusia.

Pengetahuan dan kebudayaan Barat merupakan perpaduan antara kebudayaan-kebudayaan, filsafat, nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi Yunani-Roma Kuno, percampuran dengan Yudaisme dan agama Kristen serta perkembangan dan pembentukannya.

Peradaban Barat tidak berasal dari akar yang sama maka tidak dapat menampilkan unsur-unsur yang harmonis tentang realitas hakikat manusia, teori peradaban Barat tidak dapat merumuskan visinya mengenai kebenaran realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan.

Ia  hanya mengandalkan pemikiran lahir dari  tradisi-tradisi rasional dan sekluar bangsa Yunani dan Roma, sehingga kehilangan kandungan spiritualnya. Dan ia   merupakan spekulasi dari para pemikir yang menganut paham evolusi kehidupan dan penjelasan psikoanalistik tentang kodrat manusia. Hasilnya adalah desakralisasi pengetahuan.

Kegagalan ilmu pengetahuan Barat modern dalam memahami manusia karena mendasarkan diri hanya memahami realitas sebatas kemampuan indera manusia. SEMENTARA  realitas bukanlah semata-mata sesuatu yang empirik atau indrawi tetapi juga ada realitas non-inderawi (non-empirik).

Desakralisasi pengetahuan memotong pengetahuan dari akar-akarnya.  Salah satu dikotomi utama dalam peradaban Barat terdapat dalam masalah ruh dan tubuh.  Para filusuf Barat berusaha memecahkan masalah ini dengan mereduksi tubuh menjadi ruh atau sebaliknya.

Peradaban Barat lebih cenderung kepada scientisme dan mekanisme. Beberapa filusuf berusaha menghilangkan sumber utama yaitu Allah dan wahyu seperti  Halvetius dan  Holbach menjadi atheisme  begitu populer di  Prancis dan juga  La Mettrie Karl Mark, yang mengakui menganut ateisme yang paling radikal,   menganggap “agama adalah hanya sebagai respon dari frustasi jiwa dan agama adalah sebagai emosi  alam yang tak memiliki esensi, tidak memiliki ruh”, merupakan candu bagi masyarakat.

Dia berusaha menghapus agama karena agama dinilainya hanya  memberikan kebahagiaan yang fantastis bagi manusia.   Sistem Eropa Timur yang Marxis-Leninis merupakan percobaan yang sungguh-sungguh untuk menghapus agama dan untuk melepaskan manusia dari peranan agama, akan tetapi menemui kegagalan.

Krisis Spiritual Manusia Modern

Peradaban modern yang berkembang di Barat sejak zaman renaissance adalah sebuah eksperimen yang telah mengalami kegagalan sedemikian parahnya, sehingga umat manusia menjadi ragu akan pertanyaan apakah mereka dapat menemukan cara-cara lain di masa yang akan datang.

Manusia modern yang memberontak melawan Allah, telah menciptakan sebuah sains yang tidak berlandaskan cahaya intelek. Berbeda dengan yang kita saksikan di dalam sains-sains Islam Tradisional pada masa kejayaan klasik.

BACA JUGA:  FSGI Buka Poska Pengaduan UNBK Se-Indonesia

Barat hanya mendasarkan kekuatan akal (rasio) manusia semata untuk memperoleh data melalui indera.

Peradaban modern hanya ditegakkan di atas landasan konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling esensial dari manusia itu sendiri.

[1] Ilmu Eropa dapat dijelaskan melalui keadaan-keadaan ketika para ilmuwan menggarap   bahan-bahan yang diwarisi selama dua fase berturut-tururt,  fase renaisans dan fase revolusi dalam Filsafat Alam.

Hal itu   mencakup  prinsip-prinsip dasar pengenalan dunia alamiah (natural world) melalui argumen-argumen demostratif, prinsip yang pertama kali dicapai oleh peradaban Yunani kemudian diadopsi oleh perdaban Islam. Perumusan kembali yang radikal terhadap objek-objek, metode-metode dan fungsi-fungsi pengetahuan alamiah (natural sciences) terjadi pada abad ke-17 M.

Objek baru adalah fenomena yang teratur di dunia tanpa sifat-sifat manusiawi dan spiritual.  Metode-metode baru merupakan penelitian yang kooperatif.

Sedangkan fungsi-fungsi baru adalah gabungan dan pengetahuan ilmiah serta kekuasaan industrial. Target sasaran revalousi ini ialah pendidikan tradisional yang lebih tinggi,  yang lazim dikenal Skolastik.

Para “nabi” dan tokoh-tokoh revolusioner abad ini adalah Francis Bacon (di Inggris)  dan  Galileo Galilie (di Italia). Mereka memiliki tekad yang sama  terhadap dunia alamiah dan studinya. Mereka melihat  alam sebagai sesuatu yang tidak mempunyai sifat-sifat manusiawi dan spiritual.  Tidaklah mungkin adanya dialog dengan alam.

[2] Tujuan-tujuan penelitian yang masih mempertahankan pengaruh magis dalam idealisasi filosof tradisional digantikan dengan dominasi alam demi keuntungan manusia.

Pengetahuan diharapkan akan lebih bermanfaat ketika dihadapkan kepada  perbaikan-perbaikan kecilindustri dan ilmu kedokteran, serta tidak bersifat merusak.

Revolusi dalam filsafat mengubah bentuk ilmu Eropa menjadi sesuatu yang unik. Di masa sekarang filsafat kemudian disuntikkan ke dalam perkembangan ilmu yang sedang tumbuh subur.

Mulanya memang perlahan-lahan, tetapi kemudian aktivitas sintesis mampu menciptakan satu jenis ilmu baru yang ditandai dengan gaya baru aktivitas sosial dalam bidang penelitian dengan jiwa menciptakan etos kerja yang menentingkan kebaikan umum.

[3] Masyarakat Barat, yang sering digolongkan the post industrial society,  adalah  masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran materi sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis.

Mereka bukannya semakin mendekati kebahagian hidup, melainkan sebaliknya, kian dihinggapi rasa cemas  akibat kemewahan hidup yang diraihnya.

Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya ter-reduksi, lalu terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak humanis.

Sekularisasi, meminjam penjelasan Peter L. Berger, dapat dibedakan menjadi dua bentuk; dalam arti sosial pemisahan institusi agama dan politik. Yang lebih penting dalam konteks keagamaan adalah “adanya proses-proses penerapan dalam pikiran manusia berupa sekularisasi kesadaran”.

BACA JUGA:  Makan Sepausnya Bayar Seikhlasnya di Stand GARBI Kuningan

Sekularisasi   terbebasnya manusia dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Proses sekularisasi kesadaran ini, menyebabkan manusia modern kehilangan self control sehingga mudah dihinggapi berbagai penyakit rohaniah.

Manusia menjadi lupa akan siapa dirinya, dan untuk apa hidup ini serta ke mana sesudahnya. Masalah penghancuran lingkungan oleh teknologi, krisis ekologi, dan semacamnya, semuanya bersumber dari penyakit amnesis atau pelupa yang diidap oleh manusia modern.
Manusia modern telah lupa, siapakah ia sesungguhnya. Manusia modern hidup di pinggir lingkaran eksistensinya.

Intellectus adalah  kapasitas mata hati (bashiraj), satu-satunya elemen esensi manusia yang sanggup menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta.

Akibat dari intellectus yang  disfungsional, maka sesungguhnya apa pun yang diraih manusia modern yang berada di pinggir tidak lebih dari sekedar pengetahuan yang  terpecah-pecah  (fragmented knowledge), tidak utuh lagi, dan bukanlah pengetahuan yang akan mendatangkan kearifan untuk melihat hakikat alam semesta sebagai kesatuan yang tunggal, cermin keesaan dan kemahakuasaan Tuhan.

Orang dapat melihat realitas lebih utuh manakala ia berada pada titik ketinggian dan titik pusat.   Masyarakat Barat modern yang telah kehilangan visi ke-ilahi-an, telah tumpul penglihatan intellectus-nya dalam melihat realitas hidup dan kehidupan.

Pengetahuan yang hanya dihasilkan oleh kesadaran psikis (bukan spiritual) dan rasio hanyalah bersifat terbagi-bagi dan bersifat sementara.

Pengetahuan yang akan membawa kebahagiaan dan kedamaian, hanyalah akan dapat diraih bila seseorang telah membuka mata hatinya, atau visi intellectusnya, lalu senantiasa mengadakan pendakian rohani (suluk) ke arah titik pusat lewat hikmah spiritual agama.

Manusia yang demikian, meskipun ia hidup dalam batasan ruang dan waktu serta berkarya dengan disiplin ilmunya yang fragmentalis, ia akan dapat memahami rahasia watak alam sehingga dapat mengelolanya.

Sementara mata hatinya menyadarkan bahwa alam yang dikelolanya adalah sesama makhluk Tuhan yang mengisyaratkan Sang Penciptanya, Yang Rahman dan Rahim.

Perkembangan spiritualitas dalam bentuk gerakan fundamentalisme, dalam banyak kasus, sering menimbulkan persoalan psikologis. Spritualisme dalam bingkai fundamentalis hanya menawarkan jani-janji keselamatan absurd atau palsu dan ketenangan batin yang bersifat sementara (palliative).

Lebih dari itu, fundamentalisme agama melahirkan sikap-sikap eksklusif, ekstrim, dan doktrinal, dan tidak toleran dengan pemahaman lain. Allahu A’lam bi al_Shawab.

[1]  Nashr, Sayyed Hossein, Nestapa Dunia Modern, hal. 26

[2] Jerome R. Revertz,  Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan, terj.,  Yogjakarta,  Pustaka Pelajar, hal. 9.

[3] Joseph A. Byrnes, “The 17th Century”, dalam, J. Sherwood Weber, ed.,  Good Reading,  1980. hal. 48.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *