Yogyakarta : Catatan Perjalananku , Makam Girilaya dan Sejarahnya (3)

Oleh : Bintang Irianto

Dalam tulisan yang lalu, memang agak menelisik fikiran-fikiran saya mengapa sampai kemudian Girilaya tidak boleh pulang oleh Amangkurat I seorang Sultan Mataram ini, adakah sesuatu yang terjadi dalam sejarah saat itu berkaitan dengan posisi cirebon, dimana Sultan Girilaya juga merupakan menantu dari Sultan Agung yang juga merupakan Sultan Cirebon, sebegitu pentingnya sehingga Kerajaan Mataram yang sangat besar mempunyai fikiran lain terhadap kesultanan Cirebon dengan menahan Girilaya agar tidak boleh kembali lagi ke tanah cirebon?.

Memang dalam sejarah tidak banyak terungkap kaitan motif dan kepentingan apa yang menjadi catatan bahwa Amangkurat I menahan Girilaya, catatan-catatan penting dalam sejarah ini belum terkuak secara jelas dan gamblang. Akan tetapi pertanyaan-pertayaan itu semakin waktu semakin kritis muncul ke permukaan dengan berbagai kajian atau mungkin dengan bebagai kesinambungan cerita sehingga mengkonstruk cerita-cerita sebelumnya. Akan tetapi, cerita-cerita tersebut kalau tidak melalui catatan-catatan secara akademis, kemungkinan muncul melalui “Oral Histroy’ atau bisa dikatakan juga mitos, akan tetapi mitos bukan berarti cerita itu tidak ada, terjadi kejadiannya atau terdapat esesnsinya, akan tetapi belum tentu kebenarannya bila dibedah menggunakan analisa sejarah.

Bila kita melihat sejarah, apakah itu menggunakan oral histoy dari orang atau catatan akademisi, bahwa kepemimpinan Amangkurat I ini adalah kepemimpinan yang sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para sesepuhnya, sebut saja Sultan Agung (Hanyakrakusuma).  Kepemimpinan Amangkurat I adalah Program pokok pemerintahannya berusaha untuk mengkonsolidasikan kerajaan Mataram, mensentralisasikan administrasi dan keuangan, serta menumpas semua perlawanan. Dia ingin merubah kerajaan yang telah didasarkan Sultan Agung pada kekuatan militer dan kemampuan untuk memenangkan atau memaksakan suatu mufakat menjadi suatu kerajaan yang bersatu, yang sumber-sumber pendapatannya dimonopoli untuk kepentingan raja. Apabila berhasil maka dia akan merombak politik Jawa, tetapi usaha-usahanya itu sudah ditakdirkan mengalami kegagalan, fakta-fakta geografi, komunikasi, dan populasi yang menentukan bahwa kekuasaan administratif di Jawa harus didesentralisasikan tidak dapat diubah dengan perintah raja. Sebagai akibat dari kebijakan-kebijakannya, Amangkurat I mengucilkan orang-orang yang kuat dan daerah-daerah yang penting, yang akhirnya menyebabkan berkobarnya suatu pemberontakan yang terbesar selama abad XVII; hal ini mengakibatkan tumbangnya wangsa tersebut dan campurtangan VOC.

Bukan hanya itu saja penundukan agar sentralisasi kekuasaan Amangkurat I bisa terjadi kepemimpinanya di Kesultanan Mataram, sedangkan proses dengan negara tetangganya sekitar tahun 1650 perimbangan kekuatan antara Kerajaan Bali, Kesultanan Mataram, dan Kesultanan Banten serta VOC sedang terjadi perimbangan ekonomi, politik di daerah semenanjung jawa. Dan Kesultanan Cirebon dalam posisi yang serba bingung terhadap perimbangan kekuasaan empat kekuatan besar yang sedang terjadi gesekan kekuasaan di wilayah ini, karena secara kekeluargaan, Kesultanan Cirebon mempunyai hubungan keluarga dengan Kesultnanan Mataram dan Kesultanan Banten, sehingga wajar saja kalau kemudian posisi Sultan Girilaya terjepit oleh persoalan hubungan keluarga diantara dua kesultanan yang besar ini di pulau jawa dalam menancapkan pengaruhnya.

Dari proses kekeluargaan, memang Sultan Girilaya lebih menghormati Mataram karena mempunyai hubungan langsung kekeluargaan dengan Kesultanan Mataram (mantu),dalam pada itu, Cirebon biar pun tidak pernah diserang Mataram, tapi pada tahun 1619 keadaannya sudah seperti jajahan Mataram saja. Sehingga atas desakan Mataram, Sultan Cirebon mengancam Banten agar supaya mengakui kuasa Mataram, dan apabila tidak maka Banten akan diperanginya. Peringatan seperti ini ditegaskan lagi pada tahun 1637 untuk menyatakan bahwa banten harus menyatakan diri terhadap kekuasaan mataram yang dipimpin oleh Sultan Amangkurat I.

pada tahun 1650 Amangkurat memerintahkan tentara Cirebon menyerang Banten, dan pada akhir 1657 tentara Mataram sendiri bergerak menyerang Banten. Kedua serangan tersebut mengalami kegagalan, sehingga tidak hanya memperkuat perasaan benci Banten terhadap Mataram namun kemungkinan besar juga menyebabkan Cirebon meragukan manfaat dari sikap tunduknya kepada Amangkurat I. Peristiwa penyerangan cirebon ke banten disebut juga dengan peristiwa yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Pagarage atau Pacerebonan.

Itulah sedikit cerita tentang Makam Pangeran Girilaya di Imogiri, dimana berkaitan dengan kesendirian dan kegelapannya makam tersebut terdapat cerita yang sangat penting bagi kita untuk dijadikan pelajaran dalam sejarah, dengan ketenangan dari bathin yang paling dalam, dan saat penulisan ini saya mengirimkan Al Fateha ke Sultan Girilaya.

Komentar