oleh

Umat Tanpa Ulama

Oleh Wahyu Rohaedi

SIAPA yang bertanggung jawab terhadap kebobrokan moral dan sikap hedonis serta permisif yang menghinggapi sebagian besar masyarakat kita? Kalau tak salah adalah para Ulama. Mereka membimbing sikap ruhani umat, menjaga garis depan suara ruh, intinya para Ulama adalah pasukan garda depan dalam mengawal akhlak suatu tatanan masyarakat di suatu bangsa.

Karut marutnya kehidupan umat di negeri ini harus diakui merupakan akibat ketidakjelasan arah para Umara alias Pemimpin mereka. Para pemimpin ruhani yang selalu berkhutbah di masjid-masjid terkadang hanya bisa mengeluh bahkan mengancam keburukan-keburukan moral umat saat ini. Mereka beranalogi bahwa kehidupan umat saat ini diibaratkan jaman periode Makkah, mereka menganggap jaman ini adalah jaman jahiliyah modern, serta yang membuat kita sebagai umat kadang tidak habis fikir adalah mereka hanya bisa mengeluh dan mengeluh, tanpa berbuat aksi nyata alias tidak ada action sama sekali dalam menghadapi persoalan umat ini.

Bahkan paling banter mereka hanya bisa ber-istighfar, sekali lagi bukan maksud saya merendahkan kalimat Ilahiyyah tersebut, tapi yang saya sesali adalah, mereka kurang membumi bersama umat.

Dengan ucapan tersebut maka boleh jadi mereka merasa tidak terlibat secara langsung terhadap persoalan ini, mereka menganggap bahwa persoalan umat merupakan persoalan yang memang sudah merupakan sunatulloh yang memang harus semestinya terjadi. Untuk itu jangan heran manakala ada semacam fatwa dari Ulama direspons umat secara apatis.

Saya belum mendengar ada seorang Ulama ketika berkhutbah di atas mimbar melakukan introspeksi terhadap ”Korp-nya” serta mengakui secara sportif bahwa bejatnya moral masyarakat adalah akibat kegagalan dari kaum Ulama dalam mengembangkan manajemen keumatan. Kata manajemen mungkin terlalu umum dan luas dan ini akan merepotkan kita dalam mendefinisikan sebenarnya manajemen model apa dan untuk umat yang mana.

Maka baiklah saya akan menggunakan terminologi kepemimpinan (Leadership), dengan begitu arah pemikiran menjadi jelas, bahwa maksudnya kita sedang menghadapi suatu model dekadensi moral karena para Ulama gagal mengembangkan pola kepempinan bagi umat mereka. Kepemimpinan ini hampir bersifat kolektif, artinya hampir seluruh lini di organisasi keagamaan mengidap gejala serupa.

Saat ini umat-umat sedang bergerak mencari wilayah pemahaman hidup dan agama secara sendiri-sendiri, mereka sedang mencari muara kebenaran versi mereka, ini dapat saya ibaratkan umat saat ini bagaikan Ibrahim yang sedang berjalan kesana kemari mencari keberadaan Tuhan.

Tidak mengherankan saat ini banyak umat Islam baik selaku individu maupun kelompok berbondong-bondong memasuki dunia tarekat. Pesona dunia tarekat memang sudah memancar sejak puluhan abad silam. Tapi kini ada gejala menarik, banyak di antara umat mengikatkan diri pada perkumpulan spiritual semacam itu bukan demi mengembangkan spiritualitas itu sendiri. Akan tetapi untuk tujuan spiritualisme saja. Umat diam-diam meninggalkan syariat agama dan mereka lebih memilih pengkultusan sosok pembawa “tarekat” yang terkadang sosok tersebut mereduksi nilai-nilai keagamaan hanya untuk mengejar “kenikmatan sesaat”.

Fenomena saat ini sedang trend jika seseorang sedang melakukan tirakat lantas dalam tirakatnya dia menyampaikan ”sesuatu” pada pihak lain, serta pihak lain pun mempercayainya, maka hasil dari tirakat itupun disepakati sebagai wangsit yang harus dijalankan oleh para pengikut tarekat tersebut. Serta yang lebih ironis lagi sang pembawa “risalah” tersebut kemudian tidak hanya dipuja dan diagungkan, tapi juga dikultuskan.

Anda mungkin masih ingat bagaimana marahnya junjungan kita Rasululloh Saw ketika ada sebagian umat yang mencoba mengkultuskan beliau.[]

*Penulis adalah Manager Koperasi Kayu dan Mebel Kaliwulu.

Komentar