oleh

Ubah Nama Universitas Majalengka, Berani?

Oleh: Gelar S. Ramdhani (Warga Majalengka)

AKHIR-AKHIR ini, telinga kita disibukan dengan mendengar sebuah gagasan merubah nama Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) menjadi Bandara Internasional BJ Habibie.

Menurut hemat penulis, gagasan ini sah-sah saja, bahkan bisa kita artikan sebagai semangat masyarakat Indonesia untuk menghormati almarhum Presiden ke-3 Republik Indonesia, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie atas dedikasinya kepada bangsa dan negara.

Sosok Presiden Habibie dikenal juga sebagai Bapak Dirgantara karena kiprahnya dalam bidang kedirgantaraan sudah diakui oleh dunia. Pada kesempatan ini, saya tidak ingin terlalu dalam membahas gagasan merubah nama Bandara Kertajati.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengungkapkan kepada publik, khususnya masyarakat Majalengka, bahwa saya punya gagasan atau ide untuk mengubah nama Universitas Majalengka menjadi Universitas dengan nama tokoh besar Majalengka.

Misalnya, Universitas Abdul Halim, Universitas Pangeran Muhamad, Universitas Siti Armilah, Universitas Bagus Rangin, Universitas Nyi Rambut Kasih, Universitas Sunan Talaga Manggung, dan lain sebagainya. Apakah ide saya terlalu radikal? Dengan segala hormat, khususnya kepada para guru besar, dosen, senior, dan kawan-kawan mahasiswa di Universitas Majalengka, izinkan saya menjelaskan alasannya.

Alasan pertama, tanpa bermaksud membandingkan antara bandara dengan universitas, menurut saya, universitas atau institusi pendidikan tinggi jauh lebih sakral dibandingkan dengan bandara. Kenapa? Bandara di mata saya lebih cenderung sebagai simbol ekonomi semata. Lain halnya dengan universitas atau institusi pendidikan tinggi yang memiliki ruh kemajuan peradaban manusia. Sebagaimana kita ketahui, hanya pendidikan yang mampu merubah peradaban, sejarah telah mencatat itu, dan sejarah akan mencatatnya lagi!

Majalengka jangan terlalu bangga punya bandara. Meskipun punya Bandara, tapi kalau Sumber Daya Manusia (SDM) Majalengka tidak memiliki ilmu dan kompetensi, maka saya jamin, kita tidak bisa menjadi bagian dari perubahan peradaban Majalengka. Atau sederhananya begini, bangun dulu pendidikan yang berkualitas di Majalengka, lalu kita “kuasai” bandara dengan pendidikan.

Alasan kedua, kita semua tahu, generasi muda Majalengka, jangankan yang tidak mengenyam bangku kuliah, yang sudah lulus S1 atau bahkan S2 sekalipun tidak paham sejarah Majalengka. Dikarenakan tidak paham, maka tidak timbul rasa cinta atau rasa bangga terhadap tanah kelahirannya.

Padahal dari Majalengka ini banyak sekali tokoh bangsa, sebut saja KH Abdul Halim. Beliau adalah seorang ulama besar, sekaligus telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 41/TK/Tahun 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Penulis sendiri sangat kagum terhadap sosok KH Abdul Halim. Beliau adalah seorang ulama yang sangat concern dalam dunia pendidikan. Bahkan, ratusan tahun yang lalu, Abdul Halim kecil adalah seorang pembelajar, atau seorang yang fokus menimba ilmu pengetahuan. Kita juga tahu, beliau adalah pendiri sebuah lembaga pendidikan Islam terkemuka di Indonesia, yaitu Pondok Pesantren Santi Asromo.

Abdul Halim adalah bukti kita sebagai masyarakat Majalengka kepada dunia, bahwa tahun 1887 di Majalengka, tepatnya di Ciborelang, Jatiwangi, sudah lahir putra bangsa yang peduli terhadap pendidikan. Artinya, sudah sejak ratusan lalu, Majalengka adalah daerah yang punya peradaban besar.

Dengan menjadikan nama salah satu tokoh Majalengka menjadi nama universitas di Majalengka, saya rasa generasi muda Majalengka ke depan akan lebih paham sejarah. Setelah lebih paham sejarah, harapannya bisa berdampak besar (psikologi) seluruh civitas akademik universitas tersebut.

Sederhananya begini, mahasiswa yang kuliah di Universitas Abdul Halim misalnya besar kemungkinan pasti akan buka mesin pencarian di gadgetnya kemudian memasukan nama “Abdul Halim”. Setelah tahu alasannya, masa mendatang akan lahir Abdul Halim selanjutnya

Alasan ketiga, dengan merubah nama Universitas Majalengka menjadi universitas tokoh Majalengka, secara tidak langsung menjadi penghormatan abadi terhadap tokoh-tokoh Majalengka yang telah berjuang bagi bangsa dan negara ini. Selain itu, menjadikan kampus sebagai monumen hidupnya yang akan terus hidup dan menginspirasi generasi setelahnya

Alasan yang terakhir, kita belajar dari masyarakat Banten yang membiarkan nama Bandara Cengkareng menjadi Bandara Soekarno Hatta. Padahal Soekarno Hatta bukan orang Banten. Tapi, masyarakat Banten sangat bangga karena salah satu tokoh atau pahlawannya, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dijadikan nama salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Banten.

Kumaha Majalengka? Siap teu? atawa geus cukup siga kieu wae oge? (*)

Komentar