oleh

Terbitkan Izin Lingkungan Baru PLTU 2 Cirebon, ‎Pemprov Jabar Disomasi

Cirebontrust.com – Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim melayangkan surat somasi dengan nomor 019/SKB/LBH/Bdg/XI/2017 Kepada ‎Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Barat, Dadang Mohamad, Rabu (15/11).

Somasi tersebut bentuk keberatan dan penolakan terhadap terbitnya surat keputusan Kepala DPMPTSP tentang Izin Lingkungan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 Cirebon.

Tim advokasi tersebut menilai, bahwa keputusan Izin Lingkungan yang diberikan untuk PT Cirebon Energi Prasarana (CEPR) pengembang PLTU 2 Cirebon mengandung cacat hukum, baik substantif maupun prosedural.

Sehingga berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Izin Lingkungan dapat dibatalkan.

Pasalnya, Izin Lingkungan tersebut diterbitkan sebagai perubahan atas Izin Lingkungan terdahulu, yakni yang diterbitkan Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu bernomor 60/10/19.1.02.0/BPMPT/2016, yang dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2016.

Izin Lingkungan yang lama ini telah diputuskan cacat yuridis dan diperintahkan dicabut oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta.

Sehingga seharusnya prosedur perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan yang mengatur perubahan Izin Lingkungan, atas KTUN yang masih sah dan berlaku tidak dapat digunakan dalam penerbitan Izin Lingkungan yang baru.

Selain itu, berdasarkan Pasal 114a Peraturan Pemerintah tentang perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTWN) tidak berlaku untuk Izin Lingkungan, karena terminologi “Izin Pemanfaatan Ruang” dibatasi secara limitatif dalam pasal 163 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 2010, tentang penyelenggaraan penataan ruang.

Sekalipun dalam PP nomor 15 Tahun 2010 terdapat terminologi “Izin lain berdasarkan ketentuan perundang-undangan” namun jika dibaca secara struktural bersama ayat (2), izin dimaksud hanya mencakup izin yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Sifat kewenangan yang diberikan ini berbeda dengan kewenangan yang diberikan dalam penerbitan Izin Lingkungan, yang diberikan secara atributif kepada menteri, gubernur dan/atau bupati/walikota berdasarkan skala dan besaran kegiatan dan/atau usaha.

Dari hal itulah disimpulkan, bahwa Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud tidak dilakukan secara transparan dan partisipatif. Proses penerbitan Izin Lingkungan tidak melibatkan partisipasi warga terdampak, terutama para penggugat dalam perkara nomor 124/G/LH/2016/PTUN-BDG, maupun organisasi lingkungan hidup sebagaimana dimandatkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.

Hal ini akan mengulangi kesalahan hukum yang sama yang telah diangkat para penggugat dalam gugatan tata usaha negara terhadap Izin Lingkungan PT CEPR yang lama. Bahwa dengan tidak dilakukannya mekanisme partisipasi publik sesuai dengan peraturan yang berlaku, masyarakat terdampak maupun organisasi lingkungan hidup juga kehilangan kesempatan untuk memberikan masukan susbtantif terhadap dokumen lingkungan hidup.

Hal ini juga merupakan salah satu permasalahan dalam penerbitan Izin Lingkungan PT CEPR yang lama, yang diulangi lagi dalam penerbitan in casu atau perkara ini dan dengan demikian dapat diuji kembali.

Tindakan DPMPTS yang mengeluarkan Izin Lingkungan baru dengan menyalahi prosedur yang berlaku, tanpa melibatkan partisipasi warga masyarakat terdampak, dan tanpa itikad baik mengakomodir perbaikan substantif sebagaimana telah disampaikan dalam gugatan TUN atas Izin Lingkungan PT CEPR yang lama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

‎Tim advokasi dengan tegas meminta Kepala DPMPTSP untuk segera mencabut Keputusan Kepala DPMPTSP nomor: 60/08/19.1.05.0/DPMPTSP/2017 tentang Izin Lingkungan kegiatan pembangunan dan operasional PLTU kapasitas 1 x 1000 MW Cirebon di Kecamatan Astanajapura, dan Kecamatan Mund, Kabupaten Cirebon oleh PT CEPR tertanggal 17 Juli 2017.

“Kami melihat saat ini pemerintah berupaya melakukan akrobat hukum untuk melanjutkan proyek PLTU tersebut. Keterlanjuran pembangunan malah dibuat pembenarannya dengan perbagai macam cara penerbitan peraturan dan izin yang melanggar tata cara pemerintahan yang baik. Ini berbahaya bagi upaya perlindungan hukum, karena izin lingkungan yang sejatinya alat untuk melindungi lingkungan hanya menjadi syarat administratif saja,” ucap Dwi Sawung, manajer energi dan perkotaan WALHI.

Lebih lanjut Tim Adokasi Hak Atas Keadilan Iklim mendesak agar DPMPTSP untuk memenuhi serta melaksanakan somasi tersebut dalam jangka waktu 7 hari sejak surat ini diterima.

“Apabila tidak memenuhinya, maka kami akan menempuh upaya hukum lebih lanjut, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” tegas Syahri, Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim. (Riky Sonia)

Komentar