oleh

Teater: Metafora Kehidupan

(Dari Catatan yang Tertinggal 5 Tahun Silam)

Oleh DADANG KUSNANDAR*

PADA mulanya adalah gerak. Seorang pemain teater bergerak di atas panggung lantas berkata-kata. Kata-katanya disambut pemain lain, maka dialog pun berlangsung. Teater adalah metafora kehidupan, sebagaimana jenis kesenian lainnya. Berteater dengan begitu sama dan sebangun dengan memotret kehidupan dari perspektif kesenian. Tentang bagaimana sebuah kisah kehidupan disajikan dengan gurau, igau, kritik, renung, maupun protes. Kisah kehidupan manusia dan alam dalam pentas teater adalah kemampuan merangkai kisah dengan pakem seni panggung.

Ingat teater ingat peringatan 17 Agustusan di kampung. Cirebon tahun 1970 hingga 1980-an kaya dengan pentas teater kampung. Panggung pertunjukkan yang ala kadarnya disulap untuk pertunjukkan teater. Para  pemain sebagian besar terdiri atas pemuda aktivis kampung, yang gaul dan dikenal masyarakatnya. Bambu runcing bercat warna merah putih jadi penting sebagai ikon perjuangan rakyat pra kemerdekaan 1945. Kostum gombrong tentara tahun 1945 juga tampak, selain lagu Sepasang Mata Bola-Kopral Jono-Gugur Bunga dan lagu-lagu perjuangan.Teater di tingkat Rukun Warga ~saat itu bernama Rukun Kampung (RK)~saling berlomba menampilkan karya terbaik.

Tidak ada juri yang menilai karena masyarakat (penonton) yang menilai secara langsung pada pentas 30 menit-45 menit itu.  Tidak ada konspirasi untuk memenangkan atau mengalahkan sebuah pentas teater. Dan tidak ada peredaran proposal ke berbagai lembaga untuk memperoleh dana kegiatan. Betapa indahnya ketika semua kebutuhan ditanggung bersama, ketika gotong royong bukan nama cabinet pemerintahan, dan ketika setiap kita menjadi diri sendiri. Swadaya dan swadana masyarakat, sifat gotong royong yang terbukti dalam kegiatan bersama, peran ketua panitia yang biasanya merangkap sebagai ketua pemuda, maupun Bapak Ketua RK yang terhormat yang menyediakan fasilitas kampung demi suksesnya 17 Agustusan.

Kini teater menjadi barang mewah. Bukan karena mahalnya biaya operasional kegiatan semata, melainkan karena teater telah dilembagakan dalam berbagai bentuk. Ada kemajuan memang dalam pentas teater, namun terselip juga kegetiran manakala sebuah pentas teater dikritik seseorang. Kritik dalam tulisan maupun lisan. Lisan biasanya berlangsung sejenak setelah pentas usai. Pemain dan kru penggarap teater bersama penonton duduk melingkar di ruang pertunjukkan lantas mengevaluasi pertunjukkan. Tulisan biasanya terjadi ketika kabar pertunjukkan teater diulas seseorang melalui media massa.

Teatrawan ternama Arifin C. Noer pernah mengatakan, “Teater dikritik melalui tulisan (koran, majalah) maka pegiat teater misuh-misuh. Dan sebuah pentas teater jika tidak ditulis, pegiat teater pun tetap misuh-misuh”. Pertanyaannya, apakah pegiat teater itu anti kritik? Kedua, begitu pentingkah sebuah pentas teater ditulis, dikritisi, dan dipublikasikan? Ketiga, tidak harmoniskah hubungan pegiat teater dengan media massa? Tiga pertanyaan di atas mengemuka pada acara Federasi Teater Indonesia (FTI) di Dewan Kesenian Indramayu, Jumat (28/09/12) hingga Minggu (30/9/12). Tiga pertanyaan di atas itu tadi saya kira akan menimbulkan polemik  jika diperluas. Yang pasti teater butuh pers dan sebaliknya pers perlu berita dunia teater.

Sebagai kegiatan regular yang bernama Berkala ala FTI, tentu saja saya salut dan acungi jempol.Teater sebagai barang mewah harus kembali ke proporsinya, yakni menjadi milik rakyat. Sebagaimana teater pemuda Rukun Warga (RW) puluhan tahun lalu, atau sebagaimana teater rakyat (dalam bahasa Cirebon Sandiwara/ Masres) yang bagai kerakap tumbuh di batu. FTI sudah berupaya keras agar teater tetap tumbuh di Indonesia. Kehadiran teatrawan seperti Zainal Abidin Domba yang pada kesempatan itu menjadi pemandu workshop teater yang diikuti 25 orang aktivis teater, serta Radhar Panca Dahana yang ditunggu-tunggu meski batal jadi pembicara namun menginformasikan berbagai hal tentang teater di luar jadwal acara ini.

KEMBALI ke diskusi peran pers yang disajikan oleh Semi Ikra Anggara (Bandung) dan Ucha M. Sarna (Indramayu) dengan moderator Edeng Samsul Maarif (Cirebon). Saya menangkap kesan cemburu sejumlah pegiat teater atas lemahnya perhatian media massa, juga asumsi media massa masih tampak kurang peduli kepada teater dan seni budaya umumnya.  Ini merupakan pemicu bagi terciptanya dialog yang bagus antara penyaji dengan peserta, akhirnya berlangsung dialog tentang teater dan pers, tentang teater dan penonton, termasuk apresiasi dan ihwal detil lainnya sekitar teater Indonesia.

Di tengah diskusi, seorang peserta menyebut nama Mimi Rasinah. “Yang penting berkarya. Mimi Rasinah dalam berkarya tidak mimpi ingin pentas  di luarnegeri, tetapi setelah bertemu Toto Amsyar; Mimi Rasinah terbukti luar biasa, maka bisa pentas di manca Negara”. Mohon maaf saya lupa nama sang komentator. Ia mengingatkan agar pegiat teater terus berkarya, mematangkan karya dan mementaskan teater dengan baik. Yakinlah, karya yang baik akan memperoleh penghargaan setimpal, dan bentuk penghargaan itu tidak sekadar diwujudkan dalam bentuk vandal atau sertifikat atau sejumlah uang maupun pentas keliling.  Jauh dari itu adalah apresiasi masyarakat terhadap teater.

Beragam masalah teater yang tercetus pada diskusi FTI di Indramayu Jawa Barat itu sedikitnya mengingatkan kita tentang pentingnya memahami bahasa teater dari persepsi pegiat teater. Hal yang kerap luput dari perbincangan teater adalah peran penonton. Menurut persepsi penonton teater merupakan kegiatan seni yang menghibur dan memberi semacam renungan lantaran teater adalah metafora kehidupan. Sementara menurut pegiat teater, penonton adalah komunitas unik yang harus memahami teater (lengkap dengan jenisnya: realis, surealis, dan sebagainya), dan begitu pula media massa harus memahami teater sebelum menuliskannya di rubrik yang tersedia. Setidaknya mesti dibangun komunikasi yang baik antara pegiat teater dengan media massa.

Seketika teringat pada ujaran seorang kawan, “Untuk menjadi penulis teater atau kritikus teater yang langka itu, kita tidak harus menjadi pemain teater. Begitujuga sebaliknya, untuk menjadi pemain teater tidak harus menjadi penulis atau kritikus sastra”. Ujaran itu mengingatkan pentingnya diferensiasi kerja, pembagian tugas sesuai kemampuan masing-masing. Semakin beragam penilaian/ penulisan teater semakin memperlihatkan bahwa teater masih perlu ada dalam khasanah sastra Indonesia. Ini tentu saja butuh kearifan agar eksistensi teater tetap menjadi bagian integral dari kesenian panggung. Bukankah tiap saat kita semua adalah pemain teater dengan watak dan pembawaannya masing-masing? Salam Budaya! []

*) Penulis lepas, tinggal di Cirebon.

Komentar