oleh

Situs Makam Angkawijaya Sebuah Sejarah Masa Lalu

Citrust.id – Terdengar nama angkawijaya atau biasa disebut Panembahan Losari, kala itu saya masih duduk di semester empat di Jurusan Sejarah Peradaban Islam, mendengar nama itu bukan dari kelas atau mata kuliah, melainkan dari tempat-tempat diskusi diluar kelas. Dalam benak kok saya baru tahu padahal nama besar itu berada di wilayah tempat kelahiran saya sendiri, meski agak jauh dari rumah saya. Tempatnya berada di desa Limbangan kecamatan Losari, Brebes, namun lebih terkenalnya Pasarean.

Dari penamaan pasarean sendiri sudah barang tentu ada sejarah yang menarik didalamnya, benar saja ternyata. Saat rasa penasaran saya bertambah tentang angkawijaya keinginan untuk menggali terus bertambah, namun hal demikian baru terlaksana sekira pada semeter tujuh. Saat itu penggalian sejarah berhenti pada sesepuh di desa saya, alhasil, nama pasarean itu sendiri disadur dari kata sare (bahas sunda) kalau diartikan bisa tidur atau istirahat, diketahui dari penuturan sesepuh desa kalau angkawijaya pergi dari keraton dan berjalan jauh menuju timur, ditengah jalan iya berhenti untuk beristirahat, pundaknya ia sandarkan di pepohonan, kakinya diluruskan, keteduhan pohon membuat kenyamanan tersendiri baginya, hingga tanpa sadar iapun terlelap tidur sampai sore hari. Dari hal demikianlah ia bertekad membangun perdukuhan ditempat itu, menurutnya ini adalah tempat yang subur, rindang dengan pepohonan pas baginya untuk membuat semacam pedukuhan atau padepokan untuk mensyiarkan agama islam. Kala itu memang pasarean masih hutan belantara tiada berpenduduk dan lalu lalang manusia. mungkin itu sekilas tentang penamaan pasarean. Ada hal yang lebih menarik ditempat itu beserta isinya dan yang menghuninya.

Dari pelbagai kesibukan yang membelenggu Akhirnya reasech tentang angkawijaya baru bisa dilakukan pada bulan lalu tepatnya januari 2018.

Perjalan cirebon dimulai siang hari, satu jam lebih sekian menit tibalah di situs makam angkawaijaya, meski saya orang losari namun sedang berdiam di Cirebon. Disana rasa bingung ada, seperti parkir dimana, harus tanya-tanya kesiapa. Terlihat ada beberap orang yang sedang menikmati kopinya di warung yang terletak di kopmplek makam itu, sayapun memberanikan diri untuk bertanya karna teringat pepatah lampau yang maenstream “malu bertanya sesat dijalan” kurang lebih bunyinya demikian. Setelah bertanya kebebarap orang yang ada, semuanya serentak mengarah ke satu nama ialah, Umarno sebagai narasumber tentang sejarah Angkawijaya, berbeda dengan solikhin ia hanya sebatas kuncen ketika ada pengunjung yang hendak ziarah. Artinya kalau kita mau menggali kisah Angkawijaya berbincangnya dengan Bapak Umarno, namun jika hendak ziarah kuburnya saja bertemu dengan Bapak Solikhin.

Rupanya Bapak umarno tidak ada ditempat yang biasa ia jadikan semacam kantor, namun sudah ku kantongi pula prihal alamat rumahnya, tanpa pikir panjang sayapun menyambangi rumahnya, sama halnya seperti awal beliau tidak nampak dirumah, hari itu ada sedikit kecewa. Namun tekad berniat kembali ke Cirebon minimnya membawa informasi. Selang berapa menit sayapun putuskan untuk kembali kembali ke komplek makam angkawijaya.

Sesampainya disana kaki ini melangkah ke area pekuburan itu, terlihat sebidang bangunan tua dengan atap jerami yang disusun, bangun yang hanya tingginya sekitat 2-3 meter saja menjadi makbaroh, sedang makam Angkawijaya sendiri berada didalamnya, di luar bangunan itu, persis dekat temboknya namun masih berada dalam lingkup makbaroh terlihat dua makam, dan disamping kanannya, sekitar satu atau dua meter saja ada seonggok makam yang panjang dan tidak lazim, makam ini memiliki panjang 240cm (setelah saya ukur), cukup panjang bukan?. Pertanyaanya, itu makam siapa? Kenapa ada di luar bangunan? Mengapa dibiarkan begitu saja? Pertanyaan demi pertanyaan kian menambah rasa penasaran.

Setelah tercengang karna makam yang begitu panjang, saya melangkah menuju pintu masuk bangunan tua itu, ada yang menarik didepan bangunan itu, terlihat jelas piring-pring buatan cina menempel di dindingnya, seperti di momplek makam Sunan Gunung Jati, ada juga dua batu besar yang permukaanya rata membentuk persegi namun lonjong, batu itu ada dua, berada di samping kanan dan kiri pintu masuk, di tiap batu ada sesaji yang berisi kembang werna pitu (bunga tujuh rupa), rokok cerutu, kinang (semacam dedauan yang biasa dikunyah dengan apu yang dikonsumsi oleh nenek-nenek), bunga melati dan menyan, yang kesuamnya di bungkus dengan daun pisang dan berada di atas batu itu. Semakin heran dan aneh, dalam benak ini mistis sekali, padahal sedikit informasi yang saya himpun bahwa angkawijaya adalah sesosok alim, ahli agama, keturunan dari Raden Fattah Demak, berangkat dari Ratu Mas Nayawa yang memiliki anak Pangeran kesatriyan, Pangeran Losari atau Angkawijaya, Pangeran Swarga, Pangeran Emas dan terakhir Pangeran Ratu. dari Pangeran Swarga beranak Panembahan Ratu 1 hasil perkawinanya dengan Ratu Wanawati Raras anak dari Tubagus Paseh keturunan sunan Gunung Jati hasil pernikahan dengan Dewi Tepasari. Kalau disumpilkan dari silsilah tersebut bahwa Angkawijaya adalah saudara tertua Pangeran Swarga yang mencetak Raja-raja Cirebon, hasil pernikahanya dengan keturunan Sunan Guung Jati. Artinya sudah barang tentu ia adalah sosok orang besar dimasanya. Namun melihat komplek pekamanya yang terkesan seadanya membuat hati ini bersedih dan bergeming.

Disamping itu, Lagi-lagi kebiasaan masyarakat yang masih memperpercayai mitos dan sejenisnya membuat makam Pangeran losari atau Angkawijaya ini sebagai objek pengaduan untuk kekayaan.

Sumber demikian saya dapatkan dari orang-orang yang ada dipelataran komplek makam angkawijaya, mereka menyebutkan irang yang lserung datang kesini biasanya sering meminta kemudahan rizki, kemudahn urusan dan semacamanya. Dan yangwbih mencengangkan bahwa tiap kali musim pemilihan kepala desa maka, makam angkawijaya akan dipenuhi oleh para calon-calon kades tersebut. Pertanyaanya, ngapain mereka disan? Jelas sudah, tidak lain tidak buka untuk meminta agar kemenangan menjadi kepala desa ada dipihak mereka, bukan hanya satu dua kali hal demikian terjadi, sudah bertahun-tahun lamanya praktek yang seperti ini dilangsungkan.

Kalau di kritisi, dari uraian di atas bahwa sikap meminta kepada makam tua tidak dibenarkan dalam ajaran islam itu sendiri. Namun faktanya masih banyak orang-orang yang melakukan hal demikian. Artinya, ajap kali makam dijadikan arena pesugihan bagi mereka pecandu duniawi, padahal situs angkawijaya kaitanya bukan hanya dengan itu melainkan kita bisa menggali sisi sejarahnya, semisal siapa dia, bagimana kehidupanya, sudah barang tentu akan menyajikan unsur sejarah yang lugas hingha kita bisa mentauladani kebaikan-kebaikan yang angkawijaya bawa semasa hidup. /zarkasih giovani

Komentar