oleh

Silang Bahasa Jawa – Melayu

Oleh Nurdin M. Noer*

Di Jawa paling tidak terdapat empat bahasa etnis yang penting, yakni Jawa (Jatim dan Jateng), Sunda (Jawa Barat), Melayu (Batavia) dan Madura (sebagian Jawa Timur), demikian kuat dipelihara dan dijadikan bahasa peradaban sukunya. Bahasa-bahasa tersebut sudah dijadikan sebagai identitas suku mereka yang hidup berdampingan dan saling menghormati perbedaan bahasa maupun budayanya. Tetapi bukan berarti Melayu lepas dari pengaruh budaya Jawa. Pada wayang Melayu misalnya, sebagian dialog dan suluk menggunakan bahasa Jawa.

Tradisi pementasan wayang juga masuk ke dalam budaya Melayu. Dalam kebudayaan Melayu, khususnya di Semenanjung Malaka, dikenal adanya tiga jenis wayang, yakni wayang Melayu, wayang Jawa, dan wayang Siam. Wayang Melayu dan wayang Jawa hanya mempunyai sedikit perbedaan, yaitu pada bentuk tangan. Wayang Melayu hanya mempunyai satu tangan yang dapat digerakkan sedang wayang Jawa mempunyai dua tangan yang dapat digerakkan. Keduanya tampak merupakan adaptasi dari wayang yang ada di Pulau Jawa. Wayang Melayu dan wayang Jawa membawakan cerita Pandawa dan Panji (Sweeney, 1980: 41 pada Bani Sudardi, Pengaruh Bahasa Jawa terhadap Teks Wayang Melayu – Betawi).

Bahasa Melayu tidak memiliki undak-usuk bahasa seperti pada Jawa maupun Sunda. Lebih menunjukkan sikap egalitarian antarsesama, meski sisa-sisa feodalismenya masih tetap lekat. Kosakata “saya” misalnya lebih merujuk pada “sahaya” yang berarti budak. Demikian pula pada Jawa, kosakata “kula” (kawula) dan “abdi” pada Sunda merujuk pada tingkatan sosial atas dan bawah. Tetapi pada penamaan anak-anak hewan yang secara tradisional digunakan masyarakat Jawa, tidak berlaku pada bahasa Melayu. Anak hewan, seperti gudel anak kerbau, pedet anak sapi, belo anak kuda dan lainnya tak dijumpai pada tradisi Melayu. Jagad atas-bawah kenyataannya masih berlaku dalam tradisi Jawa maupun Sunda.

Sifat-sifat egalitarian inilah yang membuat bahasa Melayu lebih diterima seluruh rakyat Indonesia ketimbang Jawa atau bahasa etnis lainnya. Padahal pada sekira Oktober 1928 pengguna bahasa Jawa di Hindia Belanda dipastikan lebih besar ketimbang Melayu itu sendiri.

Dalam pandangan Benedict Anderson, bahasa Melayu telah menjadi sebuah lingua franca antarpulau selama berabad-abad yang dirasakan cocok untuk maksud demikian. Kaum nasionalis Indonesia yang berasal dari Jawa, terlepas dari kesadaran akan ‘sulitnya’ berbahasa Jawa, mereka cukup berpandangan jauh dan lapang dada untuk menindas tuntutan bahasa pribumi sendiri terhadap sukubangsa-sukubangsa Indonesia lainnya.

Kelegawaan etnis Jawa inilah yang kemudian melahirkan tiga kalimat sakti, yakni Soempah Pemoeda. Salah satunya adalah : “Kami poetra dan poetri Indonesia mengjoenjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”  Konsesus nasional kalangan muda yang membuat Indonesia hanya memiliki satu bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia. Kesimpulannya, bahasa daerah itu pasti, bahasa Indonesia wajib dan bahasa asing perlu.

Pengaruh Sansekerta

Tidak bisa dimungkiri, Sansekerta memiliki kekuatan untuk memengaruhi bahasa-bahasa yang ada di benua Asia, termasuk bahasa Melayu. James T.Collins dalam Bahasa Sansekerta dan Bahasa Melayu (2009), menyentil sebuah koran yang terbit di Malaysia.

Pada bulan Agustus 2002, di Malaysia terbentang judul berita koran yang memproklamasikan dengan bangga, bahwa Malay language is fourth most commonly used (Vinesh, 2002 : 8). Menurut laporan itu sesudah  bangsa Tionghoa, Inggris dan Spanyol, bahasa Melayu menduduki posisi keempat dalam urutan bahasa  utama di dunia, jika dinilai dari  jumlah penuturnya, baik sebagai penutur bahasa  perantara. “Alanglah hebat  berita yang membanggakan pembaca Malaysia itu. Sayang berita  itu tidak benar!”, kata Collins.

Pada perkembangannya Sansekerta juga sangat kuat memengaruhi bahasa  Jawa dan Sunda, termasuk bahasa persilangan antara keduanya, bahasa Cerbon. Sementara pada persilangan Melayu dan Sunda melahirkan bahasa Melayu Betawi.

Bahasa Sansekerta masih juga tetap digunakan sebagai bahasa ritual dan bahasa kitab dalam praktek dan amalan dua agama dunia, yakni Hindu dan Budha; lihat misalnya pernyataan Krisnamachariar (1970) tentang penggunaan bahasa Sansekerta pada hari ini. Oleh karena itu, bahasa Sansekerta bukan hanya pernah berfungsi sebagai bahasa budaya dan agama pada suatu ketika dulu, tetapi juga sebagai bahasa – yang melalui turunannya dan peranannya dalam amalan dan upacara dua agama dunia itu – tetap berwibawa di pentas dunia saat ini (Collin, 2009).

Dalam catatan yang termuat dalam ensiklopedia Encarta (2003), studi gramatikal dini tampaknya bisa dipahami dalam tulisan-tulisan kuno. Dengan demikian, tata bahasa pada awalnya terkait dengan masyarakat lama dalam tradisi tertulis. Paling awal yang masih ada adalah, bahwa tata bahasa Sansekerta dari India, yang disusun oleh tatabahasa Panini India (berkembang sekitar 400 SM). Analisis canggih ini menunjukkan bagaimana kata-kata dibentuk dan apa bagian kata membawa makna. Pada akhirnya, tata bahasa Panini dan cendekiawan Hindu lainnya membantu dalam interpretasi (penafsiran) sastra agama Hindu ditulis dalam bahasa Sansekerta. Orang-orang Arab yang diyakini telah memulai studi gramatikal bahasa mereka sebelum abad pertengahan.

Pada 1.300 tahun lampau, Nusantara sudah termashur sebagai pusat pengkajian bahasa Sansekerta dan agama Budha bagi biarawan juga  ilmuan Asia Timur. Hal itu tidak mengherankan, karena agama Budha memang mengutamakan bahasa Sansekerta dan teks Sansekerta. Collins  mengutip Kornichki (2000 : 81) tentang Buddhisme pada abad ke-8 : “Budhisme adalah agama yang sangat bergantung pada teks, oleh karena  itu, tempat ibadah Buddha memerlukan teks, selain arca dan lukisan.”

Pakar bahasa Bernard Comrie (Encarta 2003) berpendapat bahasa Austronesia, sebelumnya disebut Melayu-Polinesia, meliputi Semenanjung Malaya dan sebagian pulau-pulau di sebelah tenggara Asia dan diucapkan sejauh barat Madagaskar dan di seluruh kepulauan Pasifik sejauh timur seperti Pulau Paskah. Bahasa Austronesia termasuk Melayu (disebut Bahasa Malaysia di Malaysia, dan Bahasa Indonesia di Indonesia), Jawa, Hawaii, dan Maori (bahasa penduduk asli Selandia Baru). []

*Nurdin M. Noer adalah pemerhati budaya lokal.

Komentar