oleh

Sejarah Kesenian Bedhaya Rimbe Tarian Asal Keraton Kanoman Cirebon

CIREBON (CT) – Bedhaya Rimbe adalah satu bentuk reportoar tari kelompok putri yang hidup di Keraton Kanoman Cirebon, Jawa Barat. Repertoar tari ini bersumber pada cerita “Menak Jayengrana” dan ditarikan oleh enam orang penari putri keraton, yang dipersembahkan dalam setiap upacara kenegaraan Keraton Kanoman pada masa lalu.

Ketatnya berbagai aturan yang diberlakukan baik untuk para penari maupun dalam tata cara penyajiannya, jelas menyiratkan kandungan filosofis yang bernilai ritual dan sarat akan makna simbolik aristokrasi. Sebagai satu artefak, maka rimbe memiliki nilai arkaik dan artistik yang tinggi sebagai seni klasik istana dan juga bernilai historik.Persoalan bedaya rimbe yang tetap misteri selama lebih dari 30 tahunan, keterangan yang ada selama ini hanya merupakan serpihan catatan pendek dari beberapa peneliti terdahulu

Tarian ini terakhir kali dipergelarkan sekitar 1967, ketika Sultan Kanoman waktu itu kedatangan tamu negara dari Prancis yang salah seorang penarinya adalah ibu Ratu Nuraeni dan kakak kandungnya, ibu Ratu Yohana (almh). Bahkan, menurut P.H. Yusup Dendabrata (alm) bahwa tari bedaya Rimbe pernah dipentaskan di Kraton Mangkunegaran awal 1960-an dan saat itu rombongan dari Cirebon setelah selesai pentas, diberi cendera mata berupa jam tangan berlapis emas dari Sultan Mangkunegaran.

Sementara itu, apabila menelisik secara keseluruhan mengenai bentuk struktur penyajian bedaya rimbe, maka akan terlihat beberapa aspek yang tampak memancarkan aura yang tidak sekadar percikan nilai-nilai artistik semata tetapi lebih jauh memiliki kedalaman makna filosofis. Beberapa aspek yang dimaksud, antara lain jumlah penari yang enam disebutkan merupakan manifestasi dari jumlah rukun iman dalam ajaran agama Islam. Munculnya cahaya dari lilin yang dibawa oleh keenam penarinya merupakan nilai dari setiap rukun yang menjadi cahaya penerang bagi manusia, dalam menjalani kehidupannya baik dalam mencari rida Allah maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu pula dengan jumlah tiga fase dalam struktur garap penyajian tarinya, sangat simbolik.

Khususnya mengenai struktur penyajian rimbe yang terbagi dalam tiga bagian, terlihat adanya upaya manifestasi nilai-nilai budaya dari masa/periode zaman Sunda lama/wiwitan. Sumardjo berpendapat bahwa angka 3 dan 6 dalam kosmologi masyarakat Sunda lama yang menganut tata nilai berazaskan Tri Tangtu memiliki arti yang penting dan spesifik. Kalau di Jawa dikenal bilangan penting seperti 4, 8, 16, 32, dan seterusnya, maka dalam masyarakat Sunda bilangan penting berupa 3, 6, 12, 24, dan seterusnya.

Jika demikian adanya, maka kita bisa membaca kosmologi masyarakat Sunda yang lebih dalam dan komprehensif lewat potret bedaya rimbe. Wacana ini semakin menarik dalam upaya membuka cakrawala pandang masyarakat Jawa Barat (Cirebon, Priangan, dan lainnya) bahwa Jawa Barat adalah Sunda, dan Sunda itu adalah kita, seluruh warga masyarakat Jawa Barat dalam pengertian yang utuh. (CT-104)

Komentar