oleh

Rencana UU Perbukuan, Antara Nasib Penulis dan Minat Baca yang Rendah

Ilustrasi

CIREBON (CT) – Minat baca yang bisa jadi karena sistem sekolah yang salah. Sepakat atau tidak, karena di dalam sekolah siswa diajarkan membaca kemudian menghapal, tanpa harus mengerti apa yang dibaca.

Lingkungan rumah juga berpengaruh karena terkadang orangtua mengajarkan anak untuk bisa baca, semakin rendah umur anak bisa membaca, semakin dibanggakan dan dipamerkan ke semua orang. Seharusnya, orangtua mengajarkan suka membaca bukan bisa.

Di Indonesia, budaya membaca belum menjadi kebutuhan, ditambah lagi orang Indonesia sangat hobi dengan yang gratis-gratis. Membaca pun inginnya gratis, sehingga bila bukumu dipinjamkan, jarang sekali yang benar-benar tulus mengembalikannya.

Padahal, mereka tidak tahu bagaimana royalti yang diberikan kepada penulis jika harga buku murah. Mereka hanya diberi 10 persen dari harga penulis, untuk negara diberi 15 persen.

Berbeda dengan para pedagang. Jika penghasilan di bawah Rp4,8 miliar maka hanya terkena 1 persen saja. Jika penulis bagaimana harganya atau penghasilannya tetap saja dipotong pajak 15 persen.

Betapa rendahnya penghasilan penulis bukan? Tidak sesuai sebagaimana proses pembuatannya. Bisa saja pembuatan hingga berbulan-bulan mengorbankan waktu tidur atau berpikir keras untuk berimajinasi. Akan tetapi, mereka tidak demo seperti para buruh di aksi May Day. mereka sering meluapkan dengan tulisan yang mungkin entah dibaca atau tidak.

Saat ini, DPR sedang membuat sebuah UU tentang perbukuan. Belum lagi tantangan terbesar yang dilawan untuk zaman sekarang adalah soal gadget yang mendunia. Rata-rata orang tidak lepas dari gadget.

Bahkan ada orang yang tidak bisa atau akan gelisah jika baterai gadgetnya habis. Bisa kita lihat betapa pentingnya gadget untuk semua orang sehingga melupakan buku dan minat membaca sangat kurang. Menurutmu, dalam UU Perbukuan tersebut apa yang harus diperhatikan? (Net/CT)

Komentar