oleh

Puasa sebagai Laku Asketis di Tengah Gaya Hidup yang Serba Konsumtif

Oleh M. Reza Z

TENTU dari kita ada yang pernah mendengar seorang gadis remaja rela menjual dirinya demi membeli sebuah smartphone keluaran terbaru. Atau terbongkarnya sebuah skandal baik model maupun artis yang menjadi simpanan pejabat tertentu demi memuaskan hasrat konsumtifnya yang kian hari kian mahal.

Sungguh miris, bukan? Namun tak perlu jauh-jauh melihat keluar. Mari kita bertanya pada diri sendiri. Adakah diantara kita yang masih rela membayar mahal makanan sampah demi membeli sebuah gengsi? Mengeluarkan ratusan ribu bahkan mungkin puluhan juta hanya untuk terlihat cantik? Atau mengganti gawai yang lama setiap keluar yang baru agar tetap dibilang kekinian?

Ya, perilaku konsumtif masyarakat kita sudah diluar nalar. Ironisnya kondisi seperti ini terjadi di Indonesia dimana mayoritas penduduknya beragama Islam. Padahal di dalam al-Qur’an, Islam telah memberi peringatan keras terhadap para penganut gaya hidup konsumtif ini: … dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada tuhannya (Surat al-Israa ayat 26-27).

***

Adalah Jean Baudrillard yang menerangkan sekaligus menguraikan bagaimana budaya konsumtif tersebut telah menjadi kondisi umum dewasa ini. Menurutnya, di era globalisasi, gaya hidup konsumtif menemui fungsinya sebagai pembentuk identitas manusia. Sebuah budaya yang memuati kegiatan konsumsi dengan makna-makna simbolik yang hadir lewat tanda-tanda, nilai-nilai tertentu (Prestise, status, kelas).

Dalam budaya konsumtif, sistem tanda tersebut terstruktur sedemikian rupa di dalam kehidupan sosial. Ia hadir dan beroperasi dalam fungsinya untuk mengontrol, mempengaruhi, sekaligus menjerat melalui makna simbolisnya yang diatur melalui sistem tanda. Melalui gaya hidup konsumtif pula status sosial manusia dinilai, ditentukan, sekaligus dibedakan di masyarakat.

Konon, kita sekarang hidup di era imagology. Sebuah era dimana citra lebih penting dari realitas. Oleh sistem tanda tadi, manusia dipaksa untuk membeli demi mendapatkan citra yang ia inginkan. Ya, kini yang menjadi pertimbangan dalam membeli bukan lagi nilai faedah suatu benda, melainkan pada prestise dan makna simboliknya.

Maka jangan heran ketika ada orang yang memaksakan diri membeli mobil karena ingin terlihat keren. Atau bergonta-ganti gawai canggih agar dibilang kekinian. Contoh yang lain berapa banyak diantara kita yang masih menjejali perut kita dengan kosakata gaul, modern, dan demi prestise di restoran asing macam FCK atau Mg Ronald?

Ya, kegiatan konsumtif tak lagi sesederhana yang kita bayangkan. Gaya hidup konsumtif hanya bisa dimaknai sejauh untuk mendapatkan status sosial tertentu sekaligus membedakan dirinya dengan yang lain. Bahkan pembedaan ini telah menjadi logika umum dalam budaya konsumeris. Karena alasan itulah, mengapa kita sering mendengar ungkapan: mobil ini kelasnya pengusaha, kalau yang itu mobil sejuta umat, ah itu sih rokoknya tukang becak, yang ini nih rokoknya eksekutif muda.

Padahal dalam sebuah hadist Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk atau rupa kamu, juga tidak kepada harta benda kamu. Akan tetapi Allah swt memandang kepada hati dan amal perbuatanmu semata (Ibnu Majah). Tegasnya, yang membedakan diantara manusia adalah taqwanya, bukan kekayaan dan gaya hidupnya.

***

Dari paparan di atas kita bisa memahami bahwa di dalam masyarakat konsumeris ada sebuah kondisi yang sengaja diciptakan untuk terus-menerus menjadikan hasrat sebagai kebutuhan, yaitu dengan cara menciptakan kebutuhan, yang bukan esensial, melainkan artifisial. Satu kondisi yang selalu menciptakan kurang serta perasaan tidak puas dalam diri manusia yang menuntut untuk terus mengonsumsi secara tidak kritis. Sebuah budaya yang proses dan perkembang-biakannya didorong oleh logika hasrat dan keinginan, ketimbang logika kebutuhan.

Lalu bagaimana Islam mengatasi gaya hidup konsumtif yang mengakar kuat di masyarakat tersebut? Salah satunya adalah dengan berpuasa. Puasa sebagai sila ke empat dalam rukun islam secara hakekat mempunyai pengertian yang luas. Dalam sebuah hadis dikatakan: orang yang berpuasa itu meninggalkan makan, minum, dan syahwat karena-KU (Bukhari).

Pada dasarnya melalui puasa kita dilatih untuk turut merasakan penderitaan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Melalui laku puasa kepekaan sosial kita diasah, dan empati kita ditumbuhkan. Sungguh tak pantas rasanya memamerkan gaya hidup konsumtif saat disekeliling masih banyak yang kekurangan. Apalagi berperilaku boros yang jelas-jelas bertentangan dengan makna meninggalkan syahwat seperti yang dikatakan oleh hadis di atas.

Pada titik inilah puasa menemui relevansinya sebagai antidot atas budaya konsumtif, sebagai sebuah laku asketis atas hasrat konsumtif yang selalu minta dipuaskan. Sebuah jalan sunyi seorang manusia untuk menempa dirinya menjadi pribadi yang diselimuti oleh kesederhanaan.

Berkaca dari situ, sudah seharusnya kita memaknai kembali makna puasa agar tak terjebak pada persoalaan menahan lapar dan haus semata. Sehingga dari situ diharapkan muncul pemahaman baru atas spiritualitas puasa yang lebih membumi, bahwa disamping berdimensi ukhrawi, ia juga memiliki dimensi sosialnya sekaligus. Wallahu a’lam bish shawab. []

*Penulis adalah orang yang meyakini hidup yang banyak drama layaknya darah yang penuh kolesterol.

Komentar