oleh

Penonton Cerdas

Catatan Dadang Kusnandar

Berbincang masa kanak dengan teman sebaya akhirnya sampai juga ke perbincangan film. Film yang kami saksikan di bioskop saat kecil. Tentu saja salah satu bioskop itu ada yang dijuluki misbar (gerimis bubar) lantaran tidak berplafon.

Teman-teman masih ingat lintasan peristiwa masa kanak-kanak yang penuh canda ketika menonton film di bioskop dengan tarif paling murah. Betapa senangnya manakala tokoh utama/jagoan berhasil memukul lawan secara telak hingga tak berkutik. Tepuk tangan kencang, suit-suit bersahutan, mimik muka puas wajah kami, gestur menirukan adegan ciamik, dan komentar langsung secara oral.

Sebaliknya, ketika sang jagoan tersudut alias hampir kalah saat berkelahi, kami (anak-anak SD tahun 1970) menyalahkan dan menyayangkan. Dibilang goblok kenapa tadi tidak dituntaskan saja dengan bidikan peluru. Kenapa tadi harus menolong pacarnya, dan sebagainya. Penonton merasa paling berhak menentukan arah setting film. Penonton merasa memiliki kuota besar untuk menuntun jalan cerita sesuai kehendak penonton. Penulis skenario dan sutradara seperti berada di bawah kuasa penonton.

Menjadi penonton pada berbagai fragmen kehidupan tak ayal membuka ruang imajinasi. Lanskap nan terbuka itu sepertinya memaksa pelaku memasuki ruang maya tanpa batas. Akibatnya ia berkelana ke mana-mana. Ia bisa tak terkendali.

Penonton cerdas mestinya bisa mengendalikan dan mengarahkan ruang imajinasi itu. Bahwa menjadi penonton tentu berbeda dengan menjadi pelaku. Penonton disuguhi sajian gambar, gerak, dan kata-kata untuk disimak. Mind set cerita sudah lama dibangun dan dirancang bahkan melalui eksperimen serta latihan panjang.

Pembaca budiman, tak terasa kita kadang terjebak menjadi penonton nyinyir terutama ketika menyaksikan ulah dan sepak terjang para politisi. Kita seketika menghakimi padahal sesungguhnya kita tidak tahu perihal yang sebenarnya. Kita jadi geram, kesal, menyalahkan pemimpin, dan diam-diam merasa bahwa hanya kita yang benar.

Didukung keterbukaan berekspresi dan kemudahan teknologi digital, caci maki, hujatan, iri dengki dan sejenisnya cepat tersebar. Padahal, kita hanya penonton dan bukan pelaku. Kita kerap mengatakan tidak suka politik tetapi memaki orang lain secara politik serta ditulis dalam status media sosial.

Sebagai penonton tentu saja kita sudah mengeluarkan pajak tontonan. Sebaiknya tak perlu memaksa jalan cerita kisah yang tidak kita pahami harus sesuai dengan keinginan/ egosentrisme pribadi. Mestinya pula jangan paksakan egosentrisme itu ditelan bulat-bulat oleh penonton yang lain. Lantas, penonton yang menolak keinginan/ego kita seketika dianggap sebagai musuh.

Selamat menjadi penonton cerdas di tahun politik Indonesia yang meranggas dan kerontang.[]

Komentar