Oleh BINTANG IRIANTO*
MEMAHAMI rasionalitas itu memang sangat susah, karena bicara rasionalitas sangat erat kaitannya dengan menggunakan nalar kritis atau logika.
Bayangkan saja, rasionalitas itu adalah sebuah perangkat untuk mendiagnosa untuk memilah, memilih, dan menerapkan kembali menjadi konstruks pemahaman yang ‘logic’. Maka bahasa paling gampangnya adalah, memahami realitas (kenyataan) yang bisa dipikirkan secara logika.
Berbeda dengan apa yang disebut dogmatis, yaitu sebuah bentuk kepercayaan yang dipegang oleh sebuah organisasi untuk bisa otoritatif kepada komunitas, tanpa menggunakan analisis atau fakta yang dikritik dari dalam.
Sedangkan bukti analisis atau fakta digunakan tergantung penggunaannya. Atau kalau boleh dikatakan secara mudah, bahwa dogma tersebut merupakan ide yang disampaikan yang mempunyai kesan otoritatif.
Penjelasan di atas digambarkan penulis untuk memahami fenomena politik 2019.
Politik yang mengedepankan rasionalitas adalah cara berfikir yang menggunakan akal sebagai nalar kritis, dimana semua dimensi logika menjawab semua kebenaran dengan pengetahuan yang sesungguhnya. Sedangkan politik dogmatis adalah satu tata cara pemahaman yang tidak memberikan ruang kritis terhadap kejadian politik, dan akhirnya dipahami sebagai sebuah kebenaran yang sesungguhnya. Padahal kebenaran tersebut adalah sebuah kepentingan.
Mengapa analisa fenomena sekarang ini menggunakan pendekatan rasional dan dogma dalam memahaminya? karena nalar kritis tidak muncul sebagai cara untuk memahami sebuah pergulatan politik di belantika nasional.
Semua apa yang dikatakan oleh salah satu tokoh tertentu terus dianggap bahwa itu adalah kebenaran mutlak, sehingga ketika kritik muncul sebagai penyeimbang pada informasi yang dianggap benar oleh sebahagian orang, ditolak mentah-mentah bahkan sering dinistakan dengan cara berfikir yang radikal.
Pemilih Dogmatis
Kalau kita ingin memahami pemilih dogmatis, sebenarnya bisa kita analisis secara lebih mendalam, dimulai dari memahami cara berfikirnya. Mereka selalu menggembar-gemborkan pemahaman atau informasi tanpa dipahami dulu lebih detail, sehingga pemahaman itu dianggaap sebagai kebenaran asasi.
Karena dianggap sebuah kebenaran, maka para partisan seperti ini akan terus menggelorakan tentang pemahaman tersebut, sehingga tidak boleh ada yang lain atau pemikiran yang lain untuk menjadikan sebagai keseimbangan dalam sebuah informasi. Cara seperti itu merupakan partisan dogmatis, karena tidak melihat bahwa setiap apa yang dihasilkan oleh pemikiran manusia tidak menjadi kebenaran hakiki.
Mereka yang menganggap informasi sebagai kebenaran hakiki ini akan terus memperjuangkan secara membabi buta, yang terkadang tanpa dipikirkan secara matang.
Mereka percaya, bahwa informasi tentang sebuah situasi politik itu merupakan kejadian yang sesungguhnya, sehingga nalar apapun yang muncul harus dilawan. Hal ini yang kemudian muncul dalam partisan dogmatis.
Menjadi Pemilih Rasional
Karena kita memahami bahwa tidak ada kebenaran yang hakiki di dunia ini, apalagi kebenaran dalam politik, maka kita akan selalu memahami bahwa kebenaran dalam politik itu adalah kebenaran melakukan tindakan atau pemahaman kritis secara lebih mendalam terhadap apa yang dinamakan program sebagai platform atau visi dan misi perjuangan, informasi ketokohan, informasi fenomena kebijakan (andai seorang incumbent), serta hal-hal yang kemudian berkaitan dengan informasi calon, sehingga kita tidak menjadi partisan dogmatis.
Hal ini diperlukan menggunakan nalar kritis, karena dengan pemahaman berfikir seperti ini kita akan dapat memilah serta memilih menggunakan cara berfikir yang konstruktif, dimana ketika kita memahami sebuah kebenaran, maka itu terlahir dalam cara pandang kita yang rasional.
Karena, kita akan melihat hal tersebut bukan saja menggunakan rasio, akan tetapi juga menggunakan daya inderawi terhadap apa yang kita rasakan sebagai ‘personal sosial’ terhadap munculnya agenda-agenda politik yang berkembang.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan bahwa menjadi pemilih rasional adalah ikut membangun politik yang lebih beradab, politik yang lebih manusiawi dan politik yang lebih demokratis. Dengan menjadi partisan yang rasional, sesungguhnya kita menjauhi diri dari apa yang menjadi kejahatan akibat dampak dari politik praktis dengan menggunakan nalar dogmatis. Sehingga sikap kita dalam menghadapi setiap ‘agenda lima tahunan’ menjadi sesuatu yang biasa, serta tidak menghilanghkan rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai sebuah anak bangsa, yang hidup di negara yang kaya raya akan SDA dan Kebhinekaanya. Wallahu’Alam Bi Shawab.
*Analis Politik dan Kebijakan Publik.
Komentar