oleh

Pancasila dan Kebhinekaan

Oleh Dadang Kusnandar

SEORANG aktivis partai politik suatu saat bercerita bahwa ia kerap diundang ke kantor Sospol untuk interogasi, lantaran ia selalu menjawab pertanyaan tanggal kelahiran Pancasila bukan 18 Agustus 1945, melainkan 1 Juni 1945. Tentu saja ia pun bertutur tentang kerasnya wajah sang penanya, pun bahasa tubuh ketika “pemeriksaan” berlangsung. Kawan yang lain lagi bercerita bahwa ia dilarang bertanya di manakah Pancasila, manakala untuk sementara waktu dianggap sebagai salah seorang yang menyebarkan paham baru keagamaan atau dianggap ekstremis oleh aparat berwajib.

Yang dapat kita maknai dari dua kisah kecil di atas adalah penanda bahwa Pancasila sebagai dasar negara menimbulkan multi tafsir. Bahkan pada masa Orde Baru

Pancasila digunakan sesuai kepentingan. Pihak yang menguasai seakan menjadi subjek yang menentukan.

Pancasila yang pasti hadir pada upacara bendera, sebenarnya mengingatkan pentingnya bangsa Indonesia menanamkan Pancasila sebagai nilai dasar utama yang membentengi persatuan atas dasar ketuhanan yang mahaesa. Pembacaan Pancasila yang diikuti seluruh peserta upacara bendera merupakan perlambang pentingnya melaksanakan Pancasila, hingga tak ada lagi inkonsistensi tugas dan profesi. Dalam relasi ini Pancasila menempati kedudukan istimewa dan terekomendasi untuk dilaksanakan.

Dulu di rumah-rumah tua, lambang Garuda Pancasila bertengger gagah di dindingnya. Tak sedikit yang membuat sendiri dengan media tripleks dan cat kayu. Ada kebanggaan saat menempelkan lambang negara itu di dinding rumahnya. Logo Indonesia sepertinya hendak dikenalkan kepada anak-anaknya. Dahulu pula banyak atap rumah warga bertuliskan Gerakan Hidup Ber-Pancasila (GHBP). Genteng rumah dicat putih dengan empat huruf besar itu, GHBP, dan mudah terlihat dari kendaraan bermotor yang melintas di depannya. Pancasila yang disematkan pada ruang privat dan ruang publik akhirnya cukup berhasil mengambil hati masyarakat Indonesia.

Bung Hatta menulis dalam buku “Untuk Bangsaku: Sebuah Otobiografi,” hanya Sukarno yang menjawab pertanyaan Ketua Radjiman Widyodiningrat. Pada hari keempat pada tanggal 1 Juni 1945, ia berpidato panjang lebar yang lamanya kira—kira 1 jam yang berpokok pada Panca Sila, lima dasar. Pidato itu disambut hampir semua anggota dengan tepuk—tangan yang riuh. Tepuk-tangan yang riuh itu dianggap sebagai suatu persetujuan. Sebelum selesai sidang hari itu, Ketua Radjiman Wediodiningrat mengangkat suatu panitia kecil yang di dalamnya duduk semua aliran, Islam, Kristen, dan mereka yang dianggap ahli konstitusi, untuk merumuskan kembali pokok-pokok pidato Sukarno itu. Panitia kecil itu menunjuk sembilan orang di antara mereka untuk merumuskan kembali pidato Sukarno yang kemudian diberi nama Pancasila.

Dengan demikian bukan saatnya lagi meragukan Pancasila. Akan tetapi menerimanya dengan teguh serta melaksanakan ajarannya sesuai dengan tugas dan profesi kita sehari-hari. Tak heran apabila kerap muncul bahasa dan yel-yel, Pancasila Harga Mati atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), atau Empat Pilar Kebangsaan dan sebagainya. Kecintaan kepada Pancasila bukan tanpa dasar, demikian pula keinginan mempertahankannya .

Berpegang pada kenyataan itulah Pancasila harus tumbuh subur, terutama di kalangan generasi penerus. Beruntung masyarakat Indonesia yang pernah menjadi peserta Penataran P4 di berbagai tingkatan karena dengan modal itu tidak akan ragu menerima Pancasila. Sekarang bukan saatnya lagi memperdebatkan Pancasila dengan berbagai dalih. Keberadaan Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya merupakan realitas sejati atas kebhinekaan Indonesia. []

*Penulis lepas, tinggal di Cirebon.

Komentar