oleh

Muslimah Cirebon Raya Tolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Citrust.id – Ratusan tokoh dari berbagai elemen masyarakat menghadiri seminar Tokoh Muslimah Cirebon Raya bertajuk “Tatanan Sosial Dalam Ancaman: Ada Apa Di Balik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” di salah satu rumah makan di Majalengka, Sabtu (2/3/2019).

Seminar itu sebagai bentuk penolakan terhadap keberadaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang dibahas di DPR. Di samping itu, untuk membentuk kesadaran dan pemahaman dikalangan tokoh muslimah Cirebon Raya akan bahaya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini jika sampai disahkan, pasalnya akan semakin melegalkan perzinahan dan kejahatan seksual lainnya.

Ketua Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (Aila), Rita Hendrawati Soebagio, menyampaikan, definisi kekerasan di dalam isi pasal tidaklah tepat, maka perlu untuk dikritisi. Dalam RUU P-KS disebutkan, bentuk kekerasan seksual adalah “pemaksaan pelacuran”, sedangkan pelacuran sendiri tidak dijadikan bentuk kekerasan seksual.

“Jadi jika tidak dipaksa tidak termasuk ke dalam kekerasan. Tubuh saya, haknya untuk digunakan untuk apa. Misal prostitusi atau aborsi tidak mengandung unsur pemaksaan jadi tidak termasuk kekerasan, karena dilakukak dengan suka rela. Masih banyak lagi contoh yang dipaparkan, sehingga semakin jelas keberadaan RUU ini bermasalah dari akarnya,” papar Rita.

Dikatakan dia, keberadaan RUU P-KS pun bernapaskan Feminis-Radikal yang melegalkan LGBT. Jika melarang LGBT berarti telah melakukan kekerasan. Yang keliru adalah ketika seorang laki-laki dikatakan bisa menyusui, namun tidak bisa melahirkan.

Menurutnya, bentuk kekerasan lainnya menurut versi kaum feminis adalah jika seorang istri melayani pekerjaan rumah tangga tanpa keikhlasan, maka termasuk kedalam perbudakan seksual. Misal, menyuruh istri membuatkan kopi, ia anggap perintah suami memperbudak. Suami bisa dilaporkan.

“Jadi wajar kalau kita mengatakan ada penumpang gelap dibalik RUU P-KS agar menguntungkan mereka seolah ingin mendapatkan pelegalan dan diterima di kalangan masyarakat. Jika benar adanya RUU ini untuk menyelesaika kekerasan seksual, maka tutup semua pintu prostitusi,” ungkap Rita.

Sementara itu, Pemerhati Sosial Politik Indonesia, Najmah Saiidah, mengutarakan, RUU P-KS tidak menyelesaikan masalah kekerasan seksual.

“Untuk menyelesaikannya hendaklah kita kembali kepada Islam. Solusi Islam dalam menyelesaikan persoalan kekerasan seksual, yaitu melalui tiga pilar yang harus ditegakkan. Melalui perbaikan individu, kontrol masyarakat, dan penerapan aturan yang sohih oleh negara,” ungkapnya.

Dikatakan dia, bukti nyata ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah adalah di masa Khalifah Al-Mutashim Billah. Kala itu, ada seorang wanita diganggu oleh seseorang di pasar. Wanita itu menjerit tidak terima dilecehkan. Maka Khalifah marah dan mengirimkan tentaranya untuk mengepung pasukan Romawi. Begitulah pembelaan Islam terhadap seorang wanita yang dilecehakan.

“Tidak diragukan lagi hanya Islam yang mampu mengatasi persoalan kekerasan seksual bukan RUU P-KS. Maka saat ini ketika Islam belum diterapkan oleh negara, apa yang harus kita perbuat? Diam saja? Jadi penonton atau berjuang untuk menegakkannya? Alhamdulillah para tokoh semuanya bersepakat untuk menolak RUU P-KS,” tuturnya. (Abduh)

Komentar