Musim Caleg

Ilustrasi: soreangonline

Catatan Dadang Kusnandar

Pemilu lagi. Lagi-lagi pemilu. Indonesia kembali mengadakan pesta demokrasi spektakuler lima tahunan. Istilah tahun politik pun mengiringi perjalanan sejarah politik terutama sejak Reformasi 1998.

Dalam ukuran mikro, setiap kita pasti pernah dihubungi orang lain untuk “terlibat” dalam helat politik ini. Sangat mungkin tetangga/teman/saudara kita kini telah terdaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg) yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Lantas, ia meminta kita mendukung demi memenuhi keinginan politiknya. Tentu saja berbagai cara dilakukan.

Yang menarik, manakala di lingkungan terdekat kita terdapat lebih dari seorang caleg dari beberapa parpol. Pasti terjadi tarik menarik konstituen. Dengan konstituen yang sama/tetangga terdekat, para caleg itu semakin ketat bersaing. Persaingan ini memungkinkan letupan kecil yang mengganggu stabilitas/harmonisasi di tingkat rukun warga.

Berbicara persaingan dalam prototipe masyarakat dewasa ini, kebendaan kerap menjadi ukuran tunggal. Dengan demikian caleg berkantung tebal lebih dilirik daripada yang berstatus pemilik SKTM (Surat Keterangan Tanda Miskin) atau SĶKD (Surat Keterangan Kere Demple). Pertanyaan kemudian, apakah hanya caleg berduit saja yang layak melenggang ke kursi parlemen? Kedua, demikian pragmatiskah masyarakat Indonesia pada setiap kali pemilu digelar? Semakin dekat ke pemilu sebaiknya sikap hidup bermasyarakat kita tetap bertahan pada kebersahajaan yang familiar.

Kehadiran caleg merupakan stimulan demokrasi sekaligus nutrisi dan asupan energi bagi pelaksanaan keterwakilan suara politik. Sistem parlementer kabinet yang dianut Indonesia mendudukkan suara rakyat di atas singgasana apapun.

Berpangkal dari soal keterwakilan suara politik, musim caleg justru akan kian semarak apabila semua pihak saling menghargai keberadaan diri masing-masing di hadapan hak dan kuasa politik.[]

Komentar