oleh

“Mimpi Dadi Raja”

Ilustrasi

Oleh: Nurdin M. Noer*

TAN ana pulung, wangsit lan wahyu kedaton, konon seseorang tak bisa menduduki sebuah tahta kerajaan di Jawa. Ia hanya bisa bermimpi untuk menduduki tahta kerajaan dan lahirlah “raja impen” karena raja dan kerajaannya hanya didasarkan pada impen atau wangsit. Karena itulah setiap orang tidak bisa menjadi “raja”. Memang dalam pandangan Jawa mimpi menjadi penting dan seringkali menjadi ilham untuk merealisasikan gagasannya. Raja Jawa pada masa lalu dan kini hanya untuk kalangan manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Tak ada Raja Jawa (setelah Tribuwana Tungga Dewi dari Majapahit) yang berjenis kelamin perempuan.

Cirebon adalah Jawa, meski klaim ini sekarang mulai ditolak akibat perkembangan bahasa dan budaya masyarakat setempat yang lepas dari Jawa. Tetapi adat istiadat, anggah-ungguh bahasa, sastra, kesenian dan sebagainya masih kental berbau Jawa. Mistisisme Jawa adalah sama dengan pandangan mistis masyarakat Cirebon dan Sunda. Demikian pula dengan sikap “atavisme” yang mendadak muncul tanpa dibarengi alasan yang jelas, seseorang berani menyatakan dirinya sebagai raja baru. Ia melurut silsilahnya sesuai dengan selera impen dan wangsit yang ada padanya. Begitulah, sebuah kerajaan baru mendadak muncul di awal tahun 2013. Kerajaan itu diberinama “Caruban Nagari” dan diproklamasikan pada 1 Februari 2013 (20 Robiulawal 1434 H) sebagai kerajaan ke-5 di Cirebon, setelah Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan.

Dalam pidato kerajaannya, Raja Pangeran Caruban Nagari atau berjuluk Ki Ageng Macan Putih di hadapan rakyat Cirebon dan para pejabat desa serta Muspika setempat, Kerajaan Caruban Nagari berdiri kembali, dan menyatakan merdeka dari belenggu penjajahan Belanda dan dari antek-antek Belanda yang tersisa, serta menobatkan dirinya sebagai Raja Caruban Nagari ke-7. Raja ini melanjutkan jabatan Pangeran Raja Abdul Karim (Panembahan Girilaya). Keratonnya berada di Desa Wargabinangun (Kalimati) Kecamatan Kaliwedi Kabupaten Cirebon.

Dari risalah yang ditulisnya sendiri “Sejarah Kerajaan Caruban Nagari dan Pesantren di Cirebon” yang diterbitkan Yayasan Macan Putih Cirebon (2013), Raja Caruban itu menelisik sejarahnya sendiri. Ia banyak mengutip dari buku yang ditulis P.S. Sulendraningrat. Pada tahun 1479 M. Ki Kuwu Cirebon menyerahkan kekuasaan Negara Islam Cirebon kepada kepada Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan sejak Negara Islam Cirebon dipimpin Syekh Syarif Hidayatullah, Negara Islam berganti namanya menjadi Kerajaan Caruban Nagari. Kerajaan itu merekrut para ki gede (kepala desa, saat ini) dan para santri yang ada di Cirebon untuk mengelola kerajaan tersebut. Dengan kekuatan serta semangat para santri yang mendukung penuh segala rencana dan kebijakan Syekh Syarif Hidayatullah memproklamasikan, bahwa Kerajaan Caruban Nagari merdeka dari Kerajaan Pajajaran (hal. 14).

Kasus munculnya kerajaan baru rupanya bukan hanya terjadi di Cirebon, tetapi juga di Tasikmalaya. Lurutan sejarahnya hampir sama dengan Kerajaan Caruban Nagari yang berujung pada awal penyebaran Islam di Tatar Sunda. Seperti disiarkan sebuah situs media online di Tasikmalaya Selatan (25/10/2010), Rohidin menyatakan dirinya sebagai Sultan Patra Kusumah VII dengan nama kerajaannya “Sela Cau”. Berlokasi di Kampung Nagaratengah Desa Cibungur Kecamatan Parungponteng Kabupaten Tasikmalaya, Rohidin mengklaim dirinya sebagai putra mahkota Kerajaan Sela Cau, yaitu Sultan Generasi ke delapan Kerajaan Sela Cau. Menurut media tersebut, Rohidin bahkan bertekad menjadikan Sela Cau wilayah istimewa, seperti kesultanan lainnya di Yogyakarta.

Perjuangan Sunan Sela Cau, kata media itu membangun pemerintah sementara di bawah pimpinan Sultan Cirebon, yang pada waktu itu sudah dipimpin Sultan Pangeran Pasarean yang didampingi senopati Fatahilah, bergelar Ki Bagus Pasai. Itu setelah berakhirnya agresi militer atau serangan ke Galuh. Wafatnya Raden Ariya Kiban dan Raden Cakra Ningkrat (Raja Galuh) atas perintah Sultan Cirebon, pemerintahan di Galuh diperluas lagi sampai Tasikmalaya, Garut dan Sumedang dalam memperluas jaringan pemerintah.

Memang dari latarbelakangnya, antara Kerajaan Caruban Nagari (Cirebon) dan Sela Cau (Tasikmalaya) tak lepas dari pengaruh sejarah para sunan yang berpusat di Cirebon. Peristiwa yang konon terjadi pada sekira enam ratus tahun lalu itu, masih menghantui para pelaku yang melurut dirinya sebagai keturunan Syeh Syarif Hidayatullah. Nama besar Sunan Cirebon itulah yang rupanya banyak memberikan daya imajinasi yang kuat pada orang-orang tertentu.

Belakangan muncul kembali atavisme kerajaan. Kali ini dia mengaku sebagai “raja terakhir” yang mendapat amanat dari Raja Kutai. Dia bernama Muhammad Abdullah Hasanudin, pria yang mengaku memiliki kekayaan Rp 700 triliun. Ia pun mengaku bergelar Sri Baginda Raja Pangeran Muhammad Abdullah Hasanudin.

Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat yang merasa sebagai keturunan asli raja-raja Cirebon sendiri, nampak bingung memahami fenomena ini. Keraton baru juga muncul di Jawa Tengah dengan adanya Kesultanan Demak, hingga Keraton Yogyakarta dan Solo. Padahal sejarah Demak sendiri sudah runtuh, tiba-tiba kini mucul kembali. Meski menimbulkan pro kontra, saat ini berubah nama dari Demak jadi Dimak. Juga ada penobatan Raja Pajajaran di Bandung hingga Keraton Cirebon sebagai pewaris dan penerus Raja Pajajaran menjadi kebingungan juga. Bagi Sultan Sepuh, untuk disebut keraton harus memenuhi kriteria tertentu, seperti alur sejarah, keturunan langsung dari sang ayah yang tak terputus, memiliki pusaka, abdi dalem, dan bangunan keraton itu sendiri.

Raja masa kini adalah penguasa adat dan tradisi setempat. Meski tak berkuasa secara politik, tapi pemerintah belakangan banyak memberikan fasilitas berupa dana revitalsasi untuk menghidupkan kembali keraton. Konon jumlahnya fantastis mencapai ratusan miliar rupiah. Barangkali dari sinilah “mimpi menjadi raja” harus direalisasi dengan cara apapun. Menjadi raja memang harus kaya, karena kekayaannnya diperlukan untuk membiayai keraton, abdi dalem dan biaya operasional lainnya.

Dalam psikologi budaya, ada semacam sikap yang disebut “atavisme”, yakni karakteristik yang terpendam ratusan tahun lalu mendadak muncul kembali. Kebanggaan yang berlebihan akan kisah masa lalu bisa membuat tekanan psikologis tersendiri, untuk melakukan sesuatu di luar nalarnya dan pelakunya mengalami disorientasi. Sikap ‘atavisme” inilah yang pada akhirnya bisa membuat seseorang merasa sebagai raja. Pada tingkat masyarakat bawah, sikap semacam ini melahirkan cara berpikir ekstrem. Seperti kasus-kasus tawuran antarwarga di perdesaan Pantura, hampir selalu dilatarbelakangi sikap semacam itu. Mereka merasa dirinya adalah sosok masa lalu yang hidup. Pada masa lalu itu moyangnya pernah menjadi penguasa dan mengalahkan penguasa-penguasa lainnya.

Lihatlah pada acara tradisional nadranan. Para peserta pawai banyak yang menampakkan diri sebagai tokoh masa lalu, seperti mbah Kuwu Cerbon, Syekh Syarif Hidayatullah dan ulama-ulama kharismatik abad ke-14. Sementara dari kalangan perempuannya muncul Nyai Mas Gandasari, Nyai Mas Kadilangu dan sebagainya.

Dalam kasus Kerajaan Caruban Nagari misalnya, Muslim (nama asli Ki Ageng Macan Putih) melakukan tindakan semacam itu berdasar “laku gaib” . Konon dari ilham yang diterimanya Macan Putih merupakan simbol penjabaran lambang Macan Ali yang merupakan lambang bendera kebesaran Kerajaan Caruban Nagari. Lambang Macan Ali juga merupakan tulisan kaligrafi Arab yang isinya dua kalimat syahadat atau disebut juga Kalimusadah. Karena itu dalam bersalawat ia menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad SAW dan Sayidina Ali bin Abi Thalib, bukan keluarga Nabi dan pengikutnya. Bisakah untuk menjadi raja hanya didasarkan pada ilham, impen atau laku gaib? Inilah fenomena yang terjadi di lingkungan kita, dongeng lebih dipercaya ketimbang fakta.[]

*Wartawan senior, pemerhati kebudayaan lokal

Komentar