oleh

Mesin Penindas Pers di Zaman Orde Baru

Oleh NURDIN M. NOER*

“PERS Tiarap” merupakan sebutan yang pantas terhadap para kuli tinta dan media pada masa Orde Baru. Dikatakan “tiarap” karena memang pers kita tak mampu berbuat banyak dalam melakukan kebebasannya. “Pers bebas yang bertanggungjawab” hanya jadi slogan di mulut kalangan pejabat Orde Baru. Budaya telefon diberlakukan setiap saat.

Bayangkan hanya gara-gara rekan Akin Garis dalam rubrik “Jogregan”nya menulis “Mang Ato Mesem”, telefon pun berdering dari kantor sospol. Buru-buru saya pun menghadap Kepala Kantor Sospol yang ada di lingkungan Balaikota Cirebon. Saya diperingati oleh Kakansospol yang kebetulan seorang perwira menengah militer. Saya hanya manggut-manggut, karena tak ada kata lain.

Memang pada saat itu setiap penerbitan pers, karyawan televisi maupun radio harus mendaftarkan diri ke kantor sospol setempat untuk melakukan sekrining. Menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) harus melewati sekrining dengan berbagai pertanyaan yang kadang-kadang tak masuk akal, seperti, “Dari mana saudara tahu tentang peristiwa G.30S.PKI?” Di sini setiap orang dicurigai terlibat anggota PKI dan onderbouwnya. Padahal saya sendiri ketika peristiwa G.30S.PKI masih duduk di kelas V sekolah dasar.

Pemerintah saat itu benar-benar menjadi mesin penindas pers. Pribadi wartawannya dibuat kecut dan ketari-ketir. Seperti diberitakan Merdeka.com Fuad Muhammad Syafruddin (32) akrab dipanggil Udin. Salah seorang wartawan Surat Kabar Harian (SKH) Bernas terbit di Yogyakarta menjadi tumbal di rezim Orde Baru. Udin ‘dihilangkan’ karena tulisannya mengusik penguasa kala itu Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo, tentara berpangkat kolonel.

Sri Roso hanya dihukum sembilan bulan penjara pada 2 Juli 1999 (setahun setelah rezim Orba tumbang). Dia dinyatakan bersalah atas kasus suap Rp 1 miliar kepada Yayasan Dharmais, yayasan yang dikelola Presiden Soeharto. Uang itu dijanjikannya sebagai imbalan bila diangkat kembali sebagai bupati Bantul 1996-2001. Pernyataan itu dituangkan dalam surat bersegel dikirim ke yayasan ditandatangani oleh R Noto Suwito yang tak lain adalah adik Soeharto.

Beberapa tulisan Udin mengritisi kekuasaan Orde Baru dan militer. Tulisan yang cukup menyengat di antaranya ‘3 Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul’, soal Pencalonan Bupati Bantul: banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi Pencalonan’, ‘Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo’ dan ‘Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis’.

Menurut Merdeka pula, pria kelahiran Bantul, 18 Februari 1964 ini meninggal pada 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB, usai dianiaya oleh orang tak dikenal di sekitar rumahnya di Dusun Gelangan Samalo,Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta, dengan sebatang besi yang dipukulkan ke kepalanya. Udin sempat mendapatkan perawatan di RS Bethesda. Setelah sempat koma karena gegar otak, akhirnya Udin menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit tersebut.

Kasus Udin menjadi ramai ketika Kanit Reserse Umum Polres Bantul Edy Wuryanto yang saat itu berpangkat Sersan Kepala (Serka), di Yogyakarta dilaporkan telah membuang barang bukti, yakni melarung sampel darah dan juga mengambil buku catatan Udin, dengan dalih melakukan penyelidikan dan penyidikan. Edy kemudian hanya dimutasi dari Mapolres Bantul, Yogyakarta ke Mabes Polri. Pers akhirnya melakukan sikap “tiarap” sambil ancang-ancang kembali mengritisi pemerintah yang menjadi haknya dalam menjalankan kontrol sosial. []

*Wartawan Senior, Aktivis Sastra dan Teater Masa Orde Baru.

Komentar