oleh

Menjadi Haji Mabrur

Oleh Dadang Kusnandar

BERSAMA ibunda tercinta bertandang kepada tetangga yang baru sepekan pulang haji, di tahun 1979. Ibu mengajak saya lantaran profesi sang haji sebagai pedagang beras yang cukup besar di Pasar Jagasatru.

Disediakan air zamzam pada gelas mini dan juadah ala Arab, saya bertanya, “Apa yang menarik dari perjalanan ke tanah suci itu, pak haji?”. Dengan santai dan guyon ia menjawab, “Sulit diceritakan. Yang pasti sesaat setelah duduk di pesawat Garuda, saya melihat pramugarinya cantik-cantik”.

Menjadi seorang haji merupakan dambaan setiap muslim. Keberangkatan ke tanah suci Makkah al-Mukaramah jika benar-benar belum terpanggil, sebanyak apa pun harta yang dimiliki, tidak akan menggerakkannya untuk memenuhi kewajiban rukun Islam kelima itu. Sebaliknya, seorang muslim yang tidak berharta bisa saja berangkat memenuhi panggil Allah swt untuk berhaji.

Berhaji merupakan kebahagiaan batin tiada tara sepanjang paska proses pelaksanaan ibadah tersebut terjadi perubahan mental pada pelaku. Mari kita do`akan semoga saudara-saudara kita yang tahun ini tengah melaksanakan ibadah haji memperoleh kebahagiaan batin itu.

Dan juga kita do`akan saudara-saudara kita yang telah melaksanakan ibadah haji, memperoleh kebahagiaan serupa ~sehingga perubahan mental itu membekas dan memancarkan cahaya ilahi kepada orang-orang sekitarnya.

Kita kerap menerima undangan menghadiri walimatush shafar, prosesi pra keberangkatan seseorang ke tanah suci Makkah. Biasanya mengundang penceramah (tentu saja yang sudah berhaji) untuk memberi nasihat kepada calon haji. Tetangga, sanak kerabat diundang.

Tenda dipasang, deretan kursi kenduri pun tampak. Hadirin menyimak pembicaraan yang disampaikan penceramah. Prosesi diakhiri dengan bersalaman, terutama kepada calon haji yang mengundang ke acara itu. Terpenting dari prosesi itu ialah mendo`akan supaya sang calon haji dimudahkan Allah swt dalam memenuhi panggilan itu, selamat hingga kembali ke tanah air tercinta.

Sebagaimana tradisi kenduri, walimatush shafar, tak lepas dari menyisipkan sebagian uang ke dalam saku calon haji. Uang yang diterima itu sebagai pengingat sang calon untuk mendo`akan sang pemberi.

Namun ada kalanya sang pemberi uang berharap sepulang dari ibadah haji ia akan menerima cendera mata dari calon haji tersebut. Jadi semacam penitipan untuk memperoleh benda.

Bahasa sederhananya, “Tolong belikan di Mekkah ya”. Hadirin yang datang ke walimatush shafar lantas menitipkan uang agaknya cukup menggejala di Indonesia. Bahkan seorang teman pernah menerima uang dalam jumlah besar di acara ini, tetapi di dalam amplop berisi uang itu tertulis, “Tolong belikan karpet Iran yang jika digulung beratnya hanya 14 kg”.

Prosesi walimatush shafar boleh saja dilakukan. Tetapi ingat bahwa prosesi lebih dimaknai sebagai bagian permohonan maaf kepada orang tua, keluarga, tetangga dan kerabat.

Pun untuk meminta do`a keselamatan atau mencatat do`a-do`a titipan orang tua (meski kedua orang tuanya telah berhaji), titipan kerabat dan tetangga, dan seterusnya. Konon, pendo`a terbaik di mata Tuhan ialah orang yang mendo`akan orang lain, sampai ia lupa mendo`akan dirinya sendiri.

Pada sebuah kesempatan seorang kawan yang pernah melaksanakan acara walimatush shafar bertutur begini. Katanya, bagi saya sebaiknya calon haji bukan mengundang tetangga dan kerabat ke rumahnya pada sebuah acara.

Dialah yang harus datang ke rumah-rumah tetangga dan sanak kerabat. Sekalian menitipkan keluarga dan harta yang ditinggalkan. Sekalian meminta do`a keselamatan. Ada pun syukuran dilakukan nanti usai ia pulang berhaji.

Di situlah ia bercerita tentang ibadah yang berpuncak di hari Arafah 9 Dzulhijjah. Katanya pula, kalau model ini yang dilakukan maka tidak akan ada teman/ kerabat yang minta dibelikan buah tangan/ cindera mata.

Jika pun ada yang mencoba titip dibelikan suatu benda, tolak saja dengan cara baik. Ia menuturkan pula bahwa ada kawannya yang telah melakukan prosesi walimatush shafar namun karena satu dan lain hal, kawannya itu tidak jadi berangkat haji.

Bayangkan! Bukan Wisata Berhaji ke tanah suci sebaiknya tidak tergoda mengunjungi 10 tempat wisata belanja. Kesepuluh nama pasar itu: Pasar Bab Mekkah, Pasar Kurma Madinah, Pasar Zakfariah, Pusat Perbelanjaan Bin Dawood, Pasar Seng, Pasar Ukaz, Balad, Haraj al-Sawarikh, Tahlia Street, dan Falestin Street. Keberangkatan ke tanah suci yang didambakan kiranya tidak berkurang oleh godaan belanja.

Menjadi haji mabrur adalah impian semua jamaah haji. Menjadi haji pengumpul oleh-oleh khas Timur Tengah, saya yakin bukan capaian yang hendak dicapai. Oleh karena itu berhajilah dan laksanakan semua tata cara sebagaimana dulu Nabiyullah Ibrahim as meletakkan dasar ibadah ini.

Berhajilah seperti dahulu Siti Hajar harus lari pontang panting hingga lelah mencari seteguk air untuk bayinya, Ismail. Dan berhajilah dengan bacaan yang tertulis pada kitab petunjuk yang dibagikan pelaksana haji. Bukan hanya dengan do`a sapu jagat: Robbana atina fid dun`ya hasanah, wa fil akhirati hasanah, waqina adzabbanaar.

Insya Allah keberangkatan memenuhi panggilan ilahi itu kelak memberi kebahagiaan batin yang luar biasa. Menjadi haji sejatinya menjadi orang pilihan. Tuhan memanggil dan sang calon haji terpanggil.

Orang-orang pilihan Tuhan itu, mau tidak mau, harus mencerminkan sifat Tuhan di muka bumi. Ia menjadi refleksi langsung sifat Tuhan yang maha welas asih terhadap sesama.

Ia memancarkan sinar ilahi lantaran keberangkatan atas dasar panggilan hati itu pada akhirnya nanti harus diejawantahkan dalam perilaku sehari-hari di mana pun, dan dalam situasi apa pun.

Sebaliknya manakala berhaji juga diikuti dengan keinginan belanja, seorang ustadz kondang belum lama ini mengatakan, “ Berhaji lah Anda sebagai ibadah, bukan wisata spiritual”.

Ustadz itu pun menyampaikan, datanglah ke makam nabi dan berdo`alah di sana. Bila ada amir hajj yang tidak mengajak ke makam nabi, mintalah agar berkunjung ke sana.

Biasanya yang tidak menjadwalkan ke makam nabi ialah penyelengara tours and travel. Ini tentunya berseberangan dengan niat awal kepergian ibadah haji. Konon bagi para mukhlisin, begitu memandang ka`bah dari kejauhan, tak terasa air mata menitik.

Teringat bagaimana dulu bangunan ini didirikan Nabi Ibrahim as, terkenang bagaimana dalam perjalanan berikutnya menjadi tempat penyimpanan ratusan patung yang dipercaya masyarakat sebagai perwujudan Tuhan.

Teringat puluhan puisi terpilih digantung di dinding ka`bah, karena masyarakat Arab ketika itu sangat mahir bersyair dan melakukan lomba menulis sajak.

Dan teringat bagaimana pasukan gajah di bawah pimpinan Raja Abrahah hendak menghancurkan ka`bah dengan harapan pusat persembahan kepada Tuhan berada di negerinya, Yaman.

Yang lebih dramatis ialah mengingat kelahiran nabi suci Muhammad saw sehari setelah kegagalan penyerangan pasukan Abrahah itu. Berkaitan dengan itu, Kang Tejo Ibnu Pakar, di sela pengajian kaum muda NU Cirebon mengatakan,

“Bila Anda memandang hajar aswad hanya sebagai batu hitam, maka ya batu warna hitam itulah yang tampak. Tetapi bila Anda melihatnya sebagai wajah Tuhan, sebagai implementasi Tuhan di muka bumi; maka hajar aswad itu beraneka warna. Ia memancarkan nurullah”.

Sulit dikisahkan, katanya. Yang enak ungkap Kang Tejo, berangkatlah menjadi haji dan rasakan hal-hal terindah dalam ibadah haji untuk memperteguh keimanan kepada Allah swt. ***

Komentar