oleh

Mengenang Perang Santri Cirebon [Memoar Kemerdekaan]

Oleh BINTANG IRIANTO

KITA kadang lupa, bahwa ada sederet nama “Kaum Sarungan” yang menjadikan sejarah Indonesia saat ini mencapai puncak kejayaanya dalam mengembangkan apa yang disebut dengan Nusantara.

Kita hanya berfikir, munculnya Indonesia dengan proses kesejarahannya tidak begitu saja mendapatkan kemerdekaan yang hakiki tanpa kita benar-benar mendalami sejarah. Hal ini membuat catatan sejarah penjajahan di Indonesia sekitar 350 tahun, hanya menyebutkan beberapa tokoh pada era sebelum kemerdekaan dan revolusi.

Padahal, perjuangan untuk merebut kemerdekaan sudah muncul sebelumnya dan mungkin berabad-abad silam. Semangat tersebut sudah menjadi ‘gelora api yang mencekam’ dari perjuangan masyarakat Indonesia.

Kita mungkin mengenal beberapa perjuangan masyarakat Indonesia terhadap penjajah, dimana sebelum Belanda ada yang disebut dengan VOC [perserikatan dagang Belanda]. Menurut penulis terdapat dua era perjuangan yang dilakukan bangsa nusantara ini.

Era pertama adalah era saat perjuangan melawan VOC dilakukan melalui jalur kesultanan, seperti Samudera Pasai di abad ke-16 terlibat perebutan kekuasaan dengan portugal dan abad ke-18 dengan Britania Raya [Inggris] dan Belanda, Penyerangan Sultan Agung dari Mataram ke VOC pada tahun 1628-1629, Sultan Hasanuddin yang merupakan keturunan penguasa ke 16 Kesultanan Gowa [1653-1669] di sekitar 1660-an melakukan perlawanan dengan VOC,juga kemudian Kesultanan Banten saat Sultan Ageng Tirtayasa yang ditemani oleh Syekh Yusuf Al-Maqasari pada sekitar tahun 1682-an.

Di era kedua adalah saat kondisi kesultanan Islam di Nusantara tercerai berai karena konflik keluarga dan akhirnya dimanfaatkkan oleh belanda untuk ditundukan. Pada era ini muncul pejuang-pejuang keagamaan yang memang mempuyai kedekatan dengan kesultanan sebelumnya.

Pada era ini memuncul beberapa tokoh diantaranya Cut Nya Dien di Aceh sekitar tahun 1873; di Sumatera ada perjuangan Kaum Padri dengan memunculkan kisah tuanku Imam Bonjol tahun 1803-1838; di Jawa sekitar tahun 1825-1830 muncul juga perang jawa dengan ketokohan Pangeran Diponegoro, serta beberapa perjuangan kaum santri seperti pemberontakan tarekat Qodariyyah wa Naqsabandiyyah di Banten, sehingga disebut pemberontakan 1888 atau peristiwa pemberontakan petani yang dikomandoi seorang Ulama besar Banten Syekh Abdul Karim, yang juga merupakan seorang murid Syekh Akhmad Khatib Sambas. Beberapa deret lainnya, para pejuang dengan khas keagamaannya melakukan pemberontakan kepada kaum penjajah.

Perang Kedongdong atau Perang Santri

Akan tetapi kita lupa, bahwa di bumi Cirebon terjadi perjuangan yang luar biasa pada era kedua ini. Akibat perjuangan tersebut, VOC hampir mengalami kekalahan dan menghadapinya dengan kekuatan yang sangat luar biasa.

Menghadapi serangan tersebut, VOC mengerahkan bala tentara di hampir pos kekuatan seperti di Batavia dan Makassar. Peristiwa tersebut terjadi pada 1808 yang dikenal dengan istilah ‘perang kedongdong’ atau biasa diistilahkan dengan ‘perang santri’.

Fragmen sejarah perjuangan tersebut bisa dilihat dalam naskah
Serat Cendhini dengan tokoh-tokohnya diantaranya Ki Bagus Rangin, Kibagus Serit, Ki Jabin, Arsitem, dan lainnya.

Akan tetapi perjuangan itu sebelumnya dilakukan terlebih dahulu yang dikomandoi beberapa Kiai yang menjadi awal munculnya tokoh-tokoh tersebut, salah satu contohnya adalah perlawanan Kiai Muqoyyim.

Kiai-kiai tersebut melakukan pendidikan kepada beberapa pejuang, yang juga merupakan seorang tokoh bangsawan yang terlahir dari Keraton yang berada di Cirebon. Adapun pendidikan yang dilakukan oleh kiai-kiai tersebut bukan hanya mendidik hanya pada persoalan keagamaan dan pemerintahaan, tetapi juga dididik soal kedirgantaraan.

Adapun beberapa nama Kiai-kiai tersebut adalah Kiai Muqoyyim [pendiri pesantren Buntet] yang berada di wilayah timur Cirebon, Syekh Muji [kyai muji/ Tengantani] yang berada di wilayah tengah Cirebon dan Kiai Jatira yang berada di wilayah Barat Cirebon.

Dalam sejarahnya, ketiga kiai tersebut mendidik beberapa pejuang yang memang mempunyai jiwa memberontak terhadap ketidaksewenang-wenangan VOC yang sudah masuk dan mengatur kesultanan Cirebon.
Salah satu yang paling keras sikapnya adalah Pangeran Kanoman, seorang putera Sultan IV Kanoman, yaitu Sultan Chaeruddin. Pangeran ini biasa dipanggil Pangeran Kanoman, yang diserahkan dari Sultan kepada Kiai Muqoyyim untuk didik semenjak usia muda, ia dikenal sebagai Pangeran Santri.

Dalam “penggemblengan” di tangan seorang kiai yang kesohor ini,
Pangeran Kanoman menunjukan sikap keras yang diarahkan kepada Belanda, sehingga dicatat oleh para tilik sandi Belanda untuk dapat ditangkap sekitar tahun 1780-an.

Dalam masa pemberontakannya, akhirnya ia sempat tertangkap dan dibuang ke Ambon. Disana ia dikenal dengan sebutan Pangeran Ambon.

Pada saat itu, perlawanan yang dilakukan Pangeran Kanoman ditemani seorang putera dari Sultan Kasepuhan yang bernama Pangeran Suryanegara/Pangeran Asyrofudin, adik Pangeran Matangaji yang juga dititipkan oleh Sultan ke-IV Kasepuhan kepada Kiai Muji.

Sehingga pada akhirnya Sultan Matangaji juga melakukan pemberontakan kepada Belanda pada tahun 1790-1800an, dan meninggalkan kesultanan untuk berjuang di luar kesultanan terhadap Belanda. Ia kemudian mengumpulkan kekuatan yang masih setia kepadanya, agar melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai akhir hayatnya.

Peristiwa ini lah yang disebut sejarah sebagai perang yang maha dahsyat di wilayah Pantura, yakni ‘perang kedongdong’ atau perang ‘santri’. Wallahu ‘a’lam bishawab

Komentar