oleh

Medsos dan Fanatisme Politik

Oleh BINTANG IRIANTO

MENJELANG Pilpres 2019, menjadi menarik bila banyak yang ikut memberikan ide, berkomentar, atau mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak pro rakyat.

Karena hal tersebut memperlihatkan bahwa budaya demokrasi politik berjalan secara baik dengan mengikutsertakan masyarakat untuk berpartisipasi. Hal itu menandakan bahwa negara ini menjunjung tinggi persamaan hak dan kebebasan berserikat, serta penyampaian pendapat.

Penyampaian pendapat tersebut dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai cara, berbagai rupa dan media. Seperti sekarang, ruang-ruang informasi sangat terbuka. Sehingga, kritik, saran, dan pernyataan bisa diungkapan kapan saja, tanpa terbatasi ruang, dan waktu.

Apalagi, informasi dan teknologi sekarang memberikan ruang akses yang cepat, seperti media sosial. Maka sudah sewajarnya ide-ide juga akan semakin cepat muncul, menjadi pembahasan masyarakat secara luas.

Kita contohkan di medsos, seperti Facebook, Instagram, atau Twitter yang saat ini menjadi ruang publik yang sangat dominan. Siapapun bisa membagikan pikiran-pikirannya secara bebas dan tanpa batas: kritikan, masukan-masukan pemikiran sampai hujatan-hujatan tanpa dasar, dan tanpa fakta. Hal itu menjadi ruang tersendiri bagi kebebasan informasi yang sekarang ini terjadi.

Sehingga, kalau kemudian kita tidak memahami informasi secara matang dan selektif, kita akan termakan isu-isu tidak mendasar.

Memang pemerintah melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE, telah menyediakan rambu-rambu dalam menentukan bagaimana agar para pengguna medsos ini bisa menjaga jarinya dalam melakukan kritik, saran atau men-share opini dari manapun sumbernya. Akan tetapi, yang perlu dijadikan rumusan adalah sumber berita itu harus melalui institusi, lembaga, serta media online yang mempunyai kredibilitas.

Sehingga, berita yang dikirim ke masyarakat luas bukan berita yang memang hoax, tetapi berita yang mempunyai kualitas jurnalisme dengan fakta dan data sebagai unsur kebenaran itu sendiri.

Informasi Tanpa Data

Kalau dilihat secara seksama, ada tiga jenis informasi yang berseliweran di media sosial, sehingga akhirnya mengkonstruk pikiran para pembacanya.

Pertama adalah informasi dengan data dan fakta yang benar, seperti melalui sumber-sumber yang terpercaya seperti media online terpercaya: minimal terdapat struktur organisasi di media, terdapat nama-nama dari jajaran redaksi sampai dengan reporter lapangannya. Juga terdapat perusahaan yang menaungi media online tersebut dan terakhir terdapat alamat jelas.

Kedua, informasi yang muncul melalui perorangan, lembaga atau institusi tertentu. Akan tetapi, dari media yang bernaung dalam kepentingan tertentu, biasanya terdapat di dalam media online yang juga menjalankan misi jurnalisme secara umum.

Akan tetapi, memang terdapat nilai-nilai kepentingan yang harus dijalankan. Kalau boleh penulis katakan, sumber informasi pada media seperti ini memang memberikan fakta dan data dari sumber-sumber yang terpercaya, dan biasanya mempunyai kepentingan tertentu untuk kemudian membuat opini serta mengkonstruk pikiran khalayak.

Ketiga adalah informasi yang belum jelas data dan faktanya. Biasanya juga dimunculkan oleh blog yang memuat tulisan-tulisan, dan terkadang tempat serta struktur oraganisasi di medianya juga tidak jelas, alias tidak seperti kedua media online yang telah dijelaskan di atas.

Memang ada blog atau web yang terpercaya, dengan menggunakan kaidah-kaidah penulisan yang mempunyai unsur pengetahuan sebagai barometer, serta mengikuti kaidah informasi yang berdasarkan kepada data dan fakta. Akan tetapi, terdapat juga web yang dalam penulisan informasinya, tidak mengikuti kaidah jurnalistik atau pendekatan data dan fakta.

Jenis informasi tanpa data dan fakta yang seperti itu sangat mudah sekali muncul dan di-share di media sosial.

Menjelang musim Pilpres 2019, banyak informasi-informasi yang mengganggu kerukunan umat beragama, serta persatuan dan kesatuan negara ini. Sehingga menjadi sebuah persoalan tersendiri pada Pilpres sekarang.

Bayangkan saja, media sosial jenis Facebook itu penggunannya bukan saja para kelompok masyarakat high class secara sosial, akan tetapi juga sampai kepada masyarakat kalangan bawah. Nah, kalau kemudian informasi itu ditelan mentah-mentah, maka informasi itu akan menjadi sebuah kepercayaan publik dan mengkonstruk cara berpikir seseorang, atau masyarakat terhadap realitas yang terjadi.

Fanatisme Buta dari Informasi Hoax

Dari fenomena yang dijelaskan di atas, pada akhirnya melahirkan persoalan sosial yang diakibatkan oleh informasi-informasi hoax yang tersebar. Apakah informasi itu tanpa tujuan? Pastinya ada juga memiliki ‘hidden agenda’ demi melancarkan kepentingannya.

Ketika informasi-informasi itu terus menggelinding dan menjadi kepercayaan tanpa dikritisi oleh pengetahuan yang memadai, maka kemudian memunculkan fanatisme buta dari informasi itu.

Mengapa disebut sebagai fanatisme buta, karena informasi-informasi yang muncul tanpa didasari oleh data dan fakta, serta ditelan mentah-mentah oleh pembacanya secara tidak langsung melahirkan sebuah pengetahuan distorsi dan teraktualisasi dengan sikap-sikap yang dihasilkan oleh konstruk sebelumnya. Ini yang penulis sebut dengan fanatisme buta.

Jika kemudian informasi itu menyebar ke masyarakat, maka hal ini menjadi sebuah persoalan baru dan tidak bisa dianggap enteng.

Oleh karenanya, melihat perkembangan-perkembangan persoalan itu menjelang Pilpres 2019, menjadi tugas kita bersama untuk berhati-hati dalam memahami setiap informasi yang berkembang, sekaligus menjadi tugas yang paling rumit bagi aparat hukum untuk menegakan UU ITE ini secara tegas. Wallahu ‘a’lam bishawab.

Komentar