oleh

Masa Depan Tiga Bahasa Daerah di Jawa Barat

Oleh Nurdin M.Noer*

PEMERINTAH memiliki tanggungjawab yang cukup berat, ketika harus menghadapi upaya pelestarian bahasa daerah di daerahnya sendiri. Karena pemeliharaan bahasa dan kebudayan telah menjadi amanat UUD 1945 untuk dikembangkan dan dilindungi. Pasal 42 Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menyatakan, bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Pesan bernada serupa diamanatkan pula dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Peraturan Daerah Jawa Barat no.5 Tahun 2003 yang diperbarui menjadi Perda no.14 Tahun 2014 dan keputusan Unesco, telah mewanti-wantikan jika bahasa daerah harus dilindungi, sebab kedudukannya yang penting sebagai jiwa dan nafas masyarakat daerah tersebut.

Hilangnya suatu bahasa daerah harus ditafsirkan dengan hilangnya juga suatu kebudayaan yang tinggi nilainya. Wajar, jika United Nations (Persatuan Bangsa-Bangsa) menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Selaras isi Perda Jawa Barat no.5/2003 di Jawa Barat terdapat tiga bahasa daerah, masing-masing Sunda, Cirebon dan Melayu Betawi.

Sumber Encarta Refrence Library 2003, menyebutkan, sebagian besar 6.000 bahasa di dunia yang berbeda dituturkan 10.000 orang atau kurang. Dalam 100 tahun ke depan banyak ahli percaya setengah dari bahasa ini, bersama-sama dengan identitas budaya yang unik terkait dengan mereka, akan keluar dari keberadaannya. Dalam artikel ini (Februari 2000) dari Encarta Yearbook, pakar bahasa Doug Whalen dan K. David Harrison mengeksplorasi penyebab dan konsekuensi dari bahasa terancam punah. Pada milenium kedua terakhir, lebih dari 6.000 bahasa manusia yang berbeda yang digunakan di seluruh dunia. Banyak ahli bahasa memprediksi pada 2100, hanya setengah dari bahasa-bahasa ini masih akan diucapkan dan setiap 12 hari kehilangan satu bahasa.

Mengapa bahasa menghilang? Alasan paling mendasar adalah peningkatan kontak antara masyarakat manusia sebelumnya terisolasi. Bahasa perlu isolasi untuk mengembangkan dan mempertahankan karakteristik khas mereka. Ketika isolasi berakhir, bahasa lokal cenderung menghilang bersama dengan cara-cara hidup tradisional.

Banyak masyarakat adat dan ahli bahasa yang bekerja untuk menghentikan kecenderungan ini, yang mengancam untuk mengurangi warisan dunia budaya dan bahasa. Banyak sejarah masyarakat dan budaya yang terkandung dalam bahasanya. Untuk kehilangan bahasa leluhur adalah untuk melemahkan tautan untuk nenek moyang sendiri. Seperti bahasa menghilang, kekayaan budaya, seni, dan pengetahuan menghilang bersama mereka. Banyak bahasa di dunia juga menawarkan ahli antropologi sebagai sumber daya yang unik untuk mempelajari bagaimana manusia tersebar di seluruh bumi. Banyak dari apa yang diketahui tentang gerakan sejarah manusia berasal dari studi bahasa yang diucapkan oleh orang-orang kuno bumi.Jumlah yang tepat dari bahasa terancam punah di seluruh dunia sulit untuk dipastikan, terutama karena perbedaan antara bahasa dan dialek yang terpisah tidak selalu jelas. (Dialek adalah versi bahasa yang berbeda dalam pengucapan,, tata bahasa, dan / atau kosa kata). Menentukan apakah ucapan sekelompok orang adalah dialek bahasa, atau telah berubah cukup untuk dianggap sebagai bahasa yang berbeda, adalah masalah konvensi sama seperti linguistik.

Namun fakta lain menunjukkan, globalisasi dan tiadanya perhatian pemerintah dalam pendidikan bahasa lokal juga merupakan salah satu faktor “pembunuh” bahasa lokal. Di sini bahasa ternyata terkotak-kotak pada gengsi pelakunya. Bahasa Inggris misalnya, menurut penelitian Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat (Kemendikbud) berada pada urutan gengsi teratas. Kedua bahasa nasional (Indonesia) dan ketiga bahasa daerah.

Gengsi yang ada pada bahasa Inggris, karena bahasa tersebut telah dipakai oleh orang di hampir seluruh dunia. Di samping telah menjadikannya sebagai “pintu gerbang ekonomi.” Pada pelaku bahasa yang sama, bahasa Indonesia menduduki urutan gengsi kedua, karena penggunaannya terbatas pada skala nasional dan terakhir bahasa daerah berada pada urutan ketiga. Jenis bahasa pada urutan gengsi ketiga inilah yang sangat menderita. Bahasa daerah dicampakkan, karena dianggap “orang-orang desa” saja yang masih menggunakan bahasa lokal. Bahasa Cerbon merupakan salah satu bahasa yang dianggap tengah menuju “ambang kematian”,jika tidak segera diatasi dengan baik.

Gerbang Kebudayaan

Di masa depan, tiga bahasa daerah di Jawa Barat,Sunda, Cerbon danMelayu Betawi harus menajdi “régol” atau “gerbang” untuk pintu masuk siapa saja yang akan belajar kebudayaan, filsafat, teknologi, seni dan lainnya. Karena itu bahasa tersebut harus memiliki “masa depan” untuk seluruh masyarakat di seluruh Indonesia. Untuk membaca karya-karya klasik Pangeran Wangsakerta (1670an) misalnya, para peminat sastra harus lebih memelajari bahasa Cirebon (kuno), begitu juga untuk memelajari teks-teks keagamaan klasik, seni rupa, teknologi lokal, batik, kesenian dan lainnya bahasa daerah harus dikuasai. Ini penting, karena syarat-syarat penguasaan bahasa tidak dilakukan, dipastikan bakal menemui kegagalan.

Demikian juga terhadap penguasaan simbol-simbol dari karya arsitektur klasik yang masih kuat menempel pada artefak-artefak keraton, candi, gua Sunyaragi, masjid-masjid kuno, runtuhan rumah-rumah yang memiliki nilai sejarah, bahasa daerah mutlak harus dikuasai. Karya-karya sastra klasik, kitab-kitab babad, tulisan pada daun lontar merupakan ”jalan pembuka” untuk pengantar media yang ada pada masa kini.

Pada masa kini, bahasa daerah di Jawa Barat telah mengalami perubahan dari bahasa kuno pada abad pertengahan dan telah banyak penemuan-penemuan berupa gagasan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki nama baru. Ada usulan agar istilah temuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut bisa diberi ”nama lokal” yang khas. Sebagai media komunikasi antarpenutur, anggah-ungguh pada bahasa lokal harus diterapkan sebagaibagian dari tata krama, bukan feodal. Dalam penggunaannya, anggah-ungguh tersebut melihat percakapan, lawan bicara dan apa yang dibicarakan serta kriteria lain, status menyangkut umur, kedudukan, sosial, ekonomi, pendidikan dan pengetahuan.

Dalam bahasa Cerbon misalnya, kebiasaan penutur menggunakan bentuk (rimbag) ”padinan” terhadap lawan bicaranya yang sebaya atau sederajat (umur, pangkat, status sosial atau pendidikan) dan juga terhadap orang yang memiliki status di bawahnya. Malah pada saat istirahat (ngaso), dia menggunakan bentuk padinan sebagai bahasa gaul sehari-hari. Penggunaan bentuk padinan dalam ”basa gaul” dengan alasan orang Cerbon itu memiliki sikap egaliter (sepadan), blakasuta (blak-blakan) dan toleran sebagai ciri masyarakat pesisir yang melihat teman bicaranya – utamanya yang akrab – sebagai sederajat. Demikian pula dengan Sunda dan Melayu Betawi, ada tata krama yang harus dipatuhi.

Kekayaan kosakata dan dialek bahasa lokal yang tersebar di berbagai daerah sudah merupakan syarat yang menyatakan bahasa tersebut bisa dijadikan “bahasa masa depan” termasuk menjadikannya sebagai bahasa pengantar keilmuan untuk menulis karya-karya ilmiah, seperti makalah, laporan penelitian, tesis dan disertasi. Juga bisa menjadi “bahasa pengantar” untuk pengajaran di lingkungan pendidikan. Mari kita bersama-sama menjaganya. ***

*Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon (LBSC).

Komentar