oleh

Kotaku: Reorientasi Pembangunan Kota Cirebon

Oleh : Sudrajat

(Communication Specialist pada Oversight Consultant (OC) Regional 6 (West Java & Banten) Program KOTAKU

Kota Cirebon, Jawa Barat adalah kota yang terletak di pesisir pantai utara jawa (Pantura). Kota dengan luas 37,358 km2 ini memiliki garis pantai mencapai 7,2 kilometer. Konon, asal muasal penyebutan kata cirebon dikarenakan sejak awal mata pencaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam.

Air bekas pembuatan terasi itu dalam bahasa Cirebon disebut “belendrang. Dari sisa pengolahan udang rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda: air rebon), yang kemudian menjadi Cirebon.

Wilayah Kota Cirebon di sebelah utara dibatasi Sungai Kedung Pane, sebelah barat dibatasi Sungai Banjir Kanal, Kabupaten Cirebon, sebelah selatan dibatasi Sungai Kalijaga dan sebelah Timur dibatasi Laut Jawa.

Sejarah peradaban Kota Cirebon baik segi kehidupan social, ekonomi dan budayanya memang tak lepas dari potensi baharinya yang cukup melimpah. Di sana bukan saja kaya akan hasil laut, tapi juga pernah menjadi pusat perniagaan yang ditandai adanya pelabuhan tua disini.

Menurut manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad 15 di pantai Laut Jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Saat itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan saat itu adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Padjadjaran).

Wajah Kumuh
Namun sayang, dari sejumlah potensi bahari yang cukup besar tersebut, Kota Cirebon, menyimpan ironi sebagai kota pesisir dengan wajah kumuh disepanjang garis pantainya. Berdasarkan hasil deliniasi kawasan yang dilakukan program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) pesisir Cirebon masih didomiasi kawasan sangat kumuh dengan luasan mencapai 54,95 hektar yang tersebar di 6 kelurahan. Di antaranya kelurahan : Kasepuhan (10,11 ha), Lemahwungkuk (6,32ha), Panjunan (17,73 ha), Pulasaren (6,23 ha), Pekalipan (7,89 ha), Pekalangan (6,67 ha). (Sumber : SK Walikota Cirebon Nomor : 663/Kep.133-DPRKP/2018 tentang Penetapan Rumah Kumuh dan Permukiman Kumuh Kota Cirebon.

Reorientasi Pembangunan Kota
Kini melalui program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sepertinya Kota Cirebon sedang berupaya keras untuk mengubah wajah kotanya yang kumuh itu menjadi kawasan lebih tertata melalui pembenahan prasarana dan sarana lingkungan permukiman secara radikal. Targetnya dari 54,49 hektare kawasan kumuh tersebut secara bertahap dapat berkurang hanya tersisa sekitar 13,56 hektare saja hingga tahun 2020 ini. (Profil KOTAKU, Kota Cirebon 2019).

Pengurangan kawasan kumuh itu menunjukkan bahwa orientasi pembangunan kota Cirebon mulai menampakkan arah dan jalan tepat (on the track) menjadi kota bebas kumuh pada saatnya nanti. Setidaknya indikasi pencapaian ini salah satu terobosan penting dalam melakukan reorientasi pembanguan kota yang sebelumnya sangat tidak memprioritaskan penataan kawasan kumuh di pesisir itu.

Melalui kolaborasi program KOTAKU ini, berharap orientasi pembangunan kota Cirebon dalam mewujudkan kota sejarah dan budaya sebagai kekuatan karakter kota Cirebon ibarat botol ketemu tutupnya. Terjalin kolaborasi program yang reciprocal untuk mengembalikan kejayaan masa lalu kota Cirebon sebagai masyarakat pesisir yang berperadaban.

Bersama program KOTAKU, kelak kawasan kumuh pesisir harus ditata sedemikian rupa sehingga semakin banyak pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru (hinter land). Baik sebagai kawasan pariwisata, perdagangan dan jasa. Bahkan untuk kawasan-kawasan tertentu seperti kawasan nelayan dapat dikembangkan, misal destinasi wisata kampoeng nelayan dengan segenap pesona baharinya. Semoga. (*)

Komentar