oleh

Ketua SC Munaslub Golkar Nilai Iuran Rp 1 Miliar Bukan Gratifikasi

JAKARTA (CT) – Ketua Steering Committe (SC) Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) partai Golkar, Nurdin Halid menegaskan pihaknya akan tetap memberlakukan iuran Rp 1 miliar kepada bakal calon ketua umum partai.

”Iuran itu kan untuk biaya Munaslub jadi akan tetap dilaksanakan,” tegas Nurdin ketika dihubungi wartawan di Jakarta, Jumat (06/05).

Nurdin menjelaskan, terkait dengan saran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyarankan agar mengurungkan niat panitia untuk melakukan pungutan, panitia sangat mengapresiasi saran tersebut.

Tapi, apa yang ditetapkan oleh panitia munaslub dalam rapat pleno Pengurus DPP Partai Golkar terkait iuran Rp 1 miliar itu tetap dijalani tidak dihapuskan. Lantaran iuran Rp 1 miliar itu bukan merupakan gratifikasi seperti yang dikatakan KPK.
“Itu bukan gratifikasi, yang dimaksud gratifikasi adalah apabila ada calon ketua umum itu pejabat negara, kemudian mencari suara dengan melakukan money politic,” ujarnya.

Ia mencontohkan misalkan ketua Golkar yang menjabat sebagai ketua DPRD atau bupati atau gubernur atau walikota, ikut mendaftarkan diri sebagai bakal calon ketua umum Golkar kemudian melakukan money politic.

“Itu masuk gratifikasi. Ini sudah searah dengan konsep SC (Steering Committee) yang tidak menghendaki money politic,” katanya.

Sementara itu, Inisiator Generasi Muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, sejak awal pihaknya sudah menyatakan tidak setuju terhadap kebijakan pungutan Rp 1 miliar.

Generasi Muda Partai Golkar berkeinginan bahwa Munaslub harus dijadikan momentum untuk mengoreksi seluruh kelemahan, dalam menata organisasi di masa sebelumnya.

Salah satunya adalah menjauhkan proses pengambilan kebijakan partai dari hal-hal yang berbau uang dan transaksional.

“Dengan adanya kebijakan setoran tersebut, artinya sama saja dengan melegalkan berkembangnya budaya uang dan transaksional, yang selama ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sekarang mulai dijadikan sebagai kebiasaan terbuka,” kata Doli.

Sejak awal Munas ini digagas, semua kader pasti menginginkan pertarungan para calon ketua umum yang mengedepankan pertarungan gagasan, ide, konsep, serta inovasi dalam mengembangkan dan memajukan partai.

Kemudian, kata Doli, juga perlu dipahami bahwa budaya setor menyetor untuk menjadi pemimpin organisasi sangatlah tidak lazim, apalagi khususnya di dalam organisasi politik. Menurut dia, politik adalah panggilan. Politik adalah pengabdian dan perjuangan.

“Jadi bagaimana logikanya, orang yang merasa terpanggil karena punya tanggung jawab, orang yang ingin mengabdi dan berjuang disuruh setor atau bayar? Sangat tidak masuk akal,” ujarnya.

Doli mengatakan apabila kebijakan ini dibiarkan terjadi, maka akan terus menjadi preseden dan diterapkan pada periode berikutnya. ‘Penyakit’ itu sangat mungkin berlanjut ke bawah, ke Dewan Pimpinan Daerah (DPD) hingga ke kecamatan dan desa.

Dampak dari itu, dalam jangka panjang, dapat membuat Golkar sulit melahirkan kader-kader yang punya kapasitas kepemimpinan kuat, cerdas secara konseptual, serta punya kemampuan artikulasi dan membangun jaringan.

“Karena akan selalu kalah dengan orang yang hanya punya banyak uang. Dan ujungnya Golkar berwujud menjadi partai tanpa ideologi, tanpa doktrin, dan tanpa kaderisasi,” ujar Doli. (Eros)

Komentar