oleh

Ketika Bang Alwy Kangen Bali

Oleh Made Adnyana Ole*

>>> Hallo Penyair….

 Halo Bang, he he he

>>> Apa kabar Bali penyair?
>>> Kangen Baliii…

Bali tetep seger

>>> Pengen kapan2 ke Bali lagi…

Ayo
Jangan kapan-kapan, tapi kapan?

>>> Ada karibku yg sekarang tinggal di Bali.
>>> Dia pelukis, cerpenis, dan fotografer…

ITU bagian dari percakapan terakhirku dengan Bang Alwy. Percakapan itu terjadi di kolom inbox di Facebook. Yang paling kuperhatikan, ia selalu menggunakan tanda >>> pada awal kalimatnya. Aku tak tahu apa maksudnya, tapi mungkin memang tak ada maksud apa-apa, kecuali kebiasaan semata yang juga dilakukan pada teman facebook yang lain.

Percakapan terakhir dengan Bang Alwy itu terjadi sekitar Maret hingga Mei 2015. Sebenarnya cukup panjang, tapi sengaja hanya bagian “Kangen Baliii” yang kukutip untuk membuka tulisan ini. Karena memang aku suka dan sangat berharap ia benar-benar datang ke Bali. Jujur, aku ingin bertemu dengannya bukan hanya karena aku ingin ngobrol atau menimba ilmu soal sastra, melainkan ingin mendengar joke-joke tak terduga dari bibirnya saat bercerita tentang peristiwa sastra, dan kejadian-kejadian konyol yang menimpa para sastrawan Indonesia. Aku selalu ngakak jika mendengar ia ngelucu, entah disengaja maupun tak disengaja.

Tapi harapan itu ternyata tak kesampaian. Bang Alwy tak akan pernah lagi datang ke Bali. Tak akan pernah.

Aku bertemu Bang Alwy untuk pertama kali sekitar tahun 1998 di Denpasar. Ia datang bersama Acep Zamzam Noor. Jika tak salah, mereka datang untuk ikut membaca puisi bersama para sastrawan Bali di Taman Budaya Denpasar. Meski acara baca puisi cuma satu malam, namun dua bersahabat itu menginap beberapa hari di Denpasar. Selama berada di Denpasar Bang Alwy dan Kang Acep menjadi bagian yang sangat akrab dari kelompok pergaulan sastrawan Bali. Kami (antara lain Putu Fajar Arcana, Warih Wisatsana, Tan Lioe Ie, Mas Ruscitadewi, Putu Satria Kusuma, Wayan Jengki Sunarta) bertemu hampir setiap hari di Warung Budaya, Taman Budaya, tempat kami berkumpul setiap hari setiap malam.

Aku punya perhatian khusus pada Bang Alwy karena ia selalu membuat kami, sastrawan-sastrawan muda, tertawa bahkan hingga terpingkal-pingkal. Ia seakan memberi petunjuk kepada kami bahwa menjadi sastrawan tidak harus bersikap serius-serius amat. Pemikiran boleh ilmiah, kritis, atau penuh analisis. Namun bercanda, tertawa, terbahak, bahkan hingga meledek, bisa dilakukan tanpa mempengaruhi kualitas karya. Maka aku dan teman-teman selalu larut dalam suasana bercanda, bahkan ketika kami bicara soal karya sastra yang serius.

Yang membuat kami terpingkal adalah ketika Bang Alwy selalu menjadi korban dari kejahilan Kang Acep. Saat itu Bang Alwy minta salah seorang dari kami memotretnya saat sedang berpose di depan pintu gerbang Taman Budaya yang penuh ukiran khas Bali. “Ini untuk membuktikan bahwa aku pernah ke Bali,” ujar Bang Alwy.

Tapi Kang Acep tiba-tiba menghalangi sesi pemotretan itu. Dia bilang, berfoto dengan latar gerbang Taman Budaya tak bisa membuktikan kalau Bang Alwy berfoto di Bali. Alasannya, pintu gerbang semacam itu terdapat banyak di kota-kota lain di luar Bali. “Bisa saja kau dianggap berfoto di Taman Mini,” kata Kang Acep saat itu.

Bang Alwy nurut saja. Pemotretan dibatalkan. Lalu ia mencari latar pemotretan di tempat lain. Tapi, oleh Kang Acep, semua latar di Taman Budaya itu dianggap sama dengan latar yang ada di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Agar orang percaya bahwa Bang Alwy berfoto di Bali, Kang Acep mengusulkan untuk menunggu pementasan Tari Kecak di salah satu stage di Taman Budaya. Dengan latar penari kecak, orang pasti percaya Bang Alwy berada di Bali.

Dan ketika pementasan Tari Kecak dimulai, muncul kekonyolan baru. Bang Alwy percaya saja kata Kang Acep bahwa penonton Tari Kecak harus membuka baju. Untuk meyakinkan kata-katanya, Kang Acep lebih dulu membuka baju yang kemudian diikuti Bang Alwy. Dua sastrawan itu dengan telanjang dada kemudian foto-fotoan di sekitar panggung tari Kecak yang sudah ramai didatangi turis. Banyak turis memandang mereka berdua dengan sorot mata bertanya-tanya. Aku sempat cemas karena sejumlah satpam mulai memperhatikan mereka. Untungnya, sampai akhir tak ada insiden apa-apa. Dan Bang Alwy, bersama Kang Acep, menunjukkan pada kami tentang cara sastrawan menunjukkan pertemanan dengan sederhana, apa adanya, polos dan konyol, serta tanpa upaya sedikitpun untuk membentuk pencitraan sebagai sastrawan yang mesti dimuliakan.

Pada saat acara pembacaan puisi, Bang Alwy membaca puisi tentang sikap kristis terhadap tokoh idolanya, Gus Dur. Aku tak ingat puisinya secara rinci, tapi aku merasa puisi itu membekaskan kesan bahwa seorang tokoh idola pun bisa dikritisi ketika dianggap tak melakukan langkah berarti pada saat negara sedang kacau. Memang, kami berkumpul di Taman Budaya sekitar awal Mei 1998, beberapa hari menjelang runtuhnya Orde Baru. Saat itu negara memang sedang kacau: krisis ekonomi, krisis politik, krisis kepercayaan. Dan banyak orang berharap tokoh-tokoh idola mereka melakukan gerakan untuk menyelamatkan negara.

Setelah Orde Baru runtuh, kami jarang bertemu Bang Alwy. Hanya beberapa kali bertemu dalam sejumlah acara pertemuan sastra, seperti Temu Sastra Mitra Praja Utama di beberapa kota. Tapi dari pertemuan-pertemuan singkat itu aku tahu Bang Alwy tak pernah berubah. Ia tetap sederhana dan jenaka. Ia tetap menebarkan semangat untuk bergaul dengan baik, berkarya tak surut-surut, dan bersikap kritis terhadap apa dan siapa pun, termasuk tokoh idola.

Sampai tiba-tiba Mei 2015, pada suatu malam Bang Alwy meneleponku. Ia bilang kangen Bali lalu bicara banyak soal rencana merancang sebuah acara untuk menguatkan potensi-potensi kesenian di daerah pesisir. Kota Singaraja, tempat tinggalku di Bali memang kota pesisir. Sama dengan Cirebon. Bang Alwy memberi saran, seniman Singaraja dan seniman Cirebon bisa menjadi pelopor untuk merancang acara kesenian untuk menguatkan potensi wilayah pesisir.

Hubungan telepon itu kemudian disambung dengan percakapan lewat kolom inbox di Facebook. Dia bilang kangen sama Bali. Dan mengatakan bahwa ada karibnya, seorang pelukis, cerpenis dan potografer, tinggal di Bali. Yang aku tahu kemudian karibnya itu adalah Ipon Bae. “Bertemulah dengan karibku itu, ajari dia menjadi orang Bali,” kata Bang Alwy.

Aku bertemu Ipon Bae di Jatijagat Kampung Puisi Denpasar. Kami mempercakapkan Bang Alwy, termasuk keinginannya untuk membuat acara seni pesisir dan membentuk poros Singaraja-Cirebon. Dan rencana itu belum sempat dibicarakan secara lebih matang, sampai aku menerima kabar Bang Alwy meninggalkan kami untuk selamanya. []

*Penyair.

Komentar