oleh

Kerajaan Baru, Caruban Nagari

-Dok NMN
KERATON Caruban Nagari di Desa Wargabinangun Kecamatan Kaliwedi Cirebon*

Oleh: Nurdin M Noer*

SEBUAH kerajaan baru mendadak muncul di awal tahun 2013. Kerajaan itu diberinama “Caruban Nagari” dan diproklamasikan pada 1 Februari 2013 (20 Robiulawal 1434 H) sebagai kerajaan ke-5 di Cirebon, setelah Kasepuhan , Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan.

Dalam pidato kerajaannya, Raja Pangeran Caruban Nagari atau berjuluk Ki Ageng Macan Putih di hadapan rakyat Cirebon dan para pejabat desa serta Muspika setempat, Kerajaan Caruban Nagari berdiri kembali dan menyatakan merdeka dari belenggu penjajahan Belanda dan dari antek-antek Belanda yang tersisa dan menobatkan dirinya sebagai Raja Caruban Nagari ke-7. Raja ini melanjutkan jabatan Pangeran Raja Abdul Karim (Panembahan Girilaya). Keratonnya berada di Desa Wargabinangun (Kalimati) Kecamatan Kaliwedi Kabupaten Cirebon.

Dari risalah yang ditulisnya sendiri “Sejarah Kerajaan Caruban Nagari dan Pesantren di Cirebon” yang diterbitkan Yayasan Macan Putih Cirebon, Raja Caruban itu menelisik sejarahnya sendiri. Ia banyak mengutip dari buku yang ditulis P.S. Sulendraningrat. Pada tahun 1479 M. Ki Kuwu Cirebon menyerahkan kekuasaan Negara Islam Cirebon kepada kepada Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan sejak Negara Islam Cirebon dipimpin Syekh Syarif Hidayatullah, Negara Islam berganti namanya menjadi Kerajaan Caruban Nagari. Kerajaan itu merekrut para Ki Gede dan para santri yang ada di Cirebon untuk mengelola kerajaan tersebut. Dengan kekuatan serta semangat para santri yang mendukung penuh segala rencana dan kebijakan Syekh Syarif Hidayatullah memproklamasikan, bahwa Kerajaan Caruban Nagari merdeka dari Kerajaan Pajajaran (hal.14).

Kasus munculnya kerajaan baru rupanya bukan hanya terjadi di Cirebon, tetapi juga di Tasikmalaya. Lurutan sejarahnya hampir sama dengan Kerajaan Caruban Nagari yang berujung pada awal penyebaran Islam di Tatar Sunda. Seperti disiarkan sebuah situs media online di Tasikmalaya Selatan (25/10/2010), Rohidin menyatakan dirinya sebagai Sultan Patra Kusumah VII dengan nama kerajaannya “Sela Cau”. Berlokasi di Kampung Nagaratengah Desa Cibungur Kecamatan Parungponteng Kabupaten Tasikmalaya, Rohidin mengklaim dirinya sebagai putra mahkota Kerajaan Sela Cau, yaitu Sultan Generasi ke delapan Kerajaan Sela Cau. Menurut media tersebut, Rohidin bahkan bertekad menjadikan Sela Cau wilayah istimewa, seperti kesultanan lainnya di Yogyakarta.

Perjuangan Sunan Sela Cau, kata media itu membangun pemerintah sementara di bawah pimpinan Sultan Cirebon, yang pada waktu itu sudah dipimpin Sultan Pangeran Pasarean yang didampingi senopati Fatahilah, bergelar Ki Bagus Pasai. Itu setelah berakhirnya agresi militer atau serangan ke Galuh. Wafatnya Raden Ariya Kiban dan Raden Cakra Ningkrat (Raja Galuh) atas perintah Sultan Cirebon, pemerintahan di Galuh diperluas lagi sampai Tasikmalaya, Garut dan Sumedang dalam memperluas jaringan pemerintah.

Memang dari latarbelakangnya, antara Kerajaan Caruban Nagari (Cirebon) dan Sela Cau (Tasikmalaya) tak lepas dari pengaruh sejarah para sunan yang berpusat di Cirebon. Peristiwa yang konon terjadi pada sekira enam ratus tahun lalu itu, masih menghantui para pelaku yang melurut dirinya sebagai keturunan Syeh Syarif Hidayatullah. Nama besar Sunan Cirebon itulah yang rupanya banyak memberikan daya imajinasi yang kuat pada orang-orang tertentu.

Dalam psikologi budaya, sikap semacam itu disebut atavisme, yakni karakteristik yang terpendam ratusan tahun lalu mendadak muncul kembali. Kebanggaan yang berlebihan akan kisah masa lalu bisa membuat tekanan psikologis tersendiri untuk melakukan sesuatu di luar nalarnya dan pelakunya mengalami disorientasi. Dalam kasus Caruban Nagari misalnya, Muslim (nama asli Ki Ageng Macan Putih) melakukan tindakan semacam itu berdasar “laku gaib” . Konon dari ilham yang diterimanya Macan Putih merupakan simbol penjabaran lambang Macan Ali yang merupakan lambang bendera kebesaran Kerajaan Caruban Nagari. Lambang Macan Ali juga merupakan tulisan kaligrafi Arab yang isinya dua kalimat syahadat atau disebut juga Kalimusadah. Bisakah suatu sejarah ditulis berdasarkan ilham, impen atau laku gaib? Inilah fenomena yang terjadi di lingkungan kita, dongeng lebih dipercaya ketimbang fakta.(NMN)***

*penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.

Komentar