oleh

“Ke Jakarta Aku kan Kembali”

Istimewa/NMN

Oleh NURDIN M NOER*

Di sana rumahku dalam kabut biru
Hatiku sedih di hari minggu
Di sana kasihku berdiri menunggu
Di batas waktu yang telah tertentu
Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang kan terjadi
Pernah kualami hidupku sendiri
Temanku pergi dan menjauhi
Lama kumenanti ku harus mencari atau ku tiada dikenal lagi

MUDIK merupakan fenomena sosial yang terjadi setiap tahun. Bagi pelakunya mudik merupakan ibadah sosial antara hidup dan mati. Betapa tidak, hanya untuk bersilaturahim dengan sanak keluarga di kampung halamann yang hanya beberapa hari saja, mereka mesti menunggu selama sebelas bulan. Mereka yang berpenghasilan pas-pasan harus menabung atau menunggu Tunjangan Hari Raya (THR).

Lagu yang dinyanyikan Koes Plus di atas cukup memberikan kesan, betapa kampung halaman itu merupakan sesuatu yang indah untuk dikenang, “Di sana kasihku berdiri menunggu// di batas waktu yang tlah tertentu”. “Waktu yang tlah tertentu” merupakan batasan waktu untuk pulang ke kampung halaman, setelah itu mereka “kembali lagi ke Jakarta”.

Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang kan terjadi//Pernah kualami hidupku sendiri// Temanku pergi dan menjauhi// Lama kumenanti ku harus mencari atau ku tiada dikenal lagi. Yah, Jakarta masih merupakan tumpuan hidup bagi para pekerja rakyat jelata. Seakan tak ada alternatif lain dalam hidup, Jakarta sebagai tumpuan hidup dan masa depan.

Kini “arus hilir” setelah mudik selama seminggu berbalik, jumlahnya bahkan lebih dari arus mudik pada H-3 Idul Fitri. Para perantau asal Cirebon dan Indramayu, seperti Suparti, Suwali dan Sudardjo memang tak seberuntung para perantau lainnya dari kalangan menengah. Mereka para perantau kelas menengah-bawah yang harus rela mudik dan hilir menjajal aspal hitam di sepanjang jalur Pantura sejauh 250 kilometer. Tak ada alternatif lain, sepeda motor merupakan pilihan utama. Di samping praktis, murah dan bisa berlari ke arah mana saja. Mereka menempuh bahaya sepanjang 500 kilometer. Udara yang panas dan kadang turun hujan lebat serta sambaran kendaraan besar, sungguh miris. Belum lagi banjir rob yang melanda daerah selatan Cirebon. Ketika mereka pulang, sergapan banjir menjadi momok bagi sanak keluarganya di kampung.

Di perantauan pun saat mereka kembali, sergapan bahaya yang sama berada di hadapannya. Panas, macet berkilo-kilo meter, kelelahan dan bahaya kecelakaan kembali mengintai mereka. Namun, apa pun yang terjadi mereka harus kembali ke Jakarta. Lagu lama Koes Plus di tahun 1970an “Kembali ke Jakarta” lamat-lamat terdengar di antara deru kendaraan besar di sepanjang jalur Pantura dan tol Cipali. “Ke Jakarta aku kan kembali, walau apa pun yang terjadi…” Dan Jakarta pun kembali memanggilnya dengan lirih, “Di sini kita kembali anak-anakku…” []

*Wartawan senior dan pemerhati kebudayaan lokal.

Komentar