oleh

Islam Nusantara dan Pendekatan Dakwah Pesantren (1/5)

Oleh YOYON SUKRON AMIN*

SEPERTI halnya awal kelahiran Islam di Makkah, Islam dikenalkan kepada seluruh masyarakat dunia melalui sebuah pendekatan dakwah yang tidak sederhana.

Di Makkah, Nabi Muhammad SAW yang berposisi sebagai pemegang ‘saklar’ tidak serta merta menyalakan lampu yang mempendarkan cahaya Islam di tengah kegelapan masyarakat Arab yang telah menjadi tradisi kala itu. Tidak serta merta, lantaran Muhammad di awal mula proses kehidupannya pun telah diwarnai dengan seperangkat pengalaman yang telah cukup untuk membawanya ke dalam proses permenungan panjang. Ditambah ‘kegelapan’ masyarakat Arab yang sudah mentradisi adalah sesuatu yang samar di mata pelaku tradisi itu sendiri, dan hanya gamblang dilihat melalui sebuah pandangan yang dihasilkan dari sebuah permenungan panjang yang sudah Nabi lakukan.

Proses permenungan Nabi –selain disebabkan realita sosial masyarakat Arab yang timpang saat itu- diawali juga dengan kehidupan pribadi yang telah melatihnya untuk terbiasa mengandalkan proses berpikir yang cerdas dan kepekaan yang tajam. Kelahirannya yang tanpa Ayah, kehidupannya dalam ruang kesederhanaan bersama paman dan lain sebagainya, telah membawa diri Muhammad kepada perhatian-perhatian lain yang lebih luas, tentu peran ketuhanan Allah Swt kepada Nabi Muhammad melalui mandat kewahyuan menduduki posisi vital dalam penyebaran Islam di kemudian hari, namun pembentukan pribadi dan ketokohannya yang tidak sederhana menjadi perangkat lain yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin, sama seperti yang telah dikaruniakan kepada Nabi-nabi lain, sebelum akhirnya mereka menjalankan tugasnya sebagai pendakwah ajaran Tuhan demi kebaikan umat manusia.

Keteguhan dan kekuatan berpikir seorang Nabi menjadi semacam jalan tunggal untuk membaca kondisi dan watak umatnya yang beragam. Keteguhan dan ketajaman berpikir inilah yang telah mengantarkan keberhasilan Muhammad Saw untuk mengenalkan Islam di tanah Arab, melalui penyesuaian-penyesuaian yang dinamis, dari sembunyi-sembunyi ke metode terang-terangan, dari pemahaman tradisi Makkah hingga analisis sosial masyarakat Madinah. Pemahaman dan pertimbangan kondisi sosial masyarakat tersebut hingga akhirnya melahirkan sebuah strategi dan pendekatan dakwah yang penuh penghargaan terhadap tradisi, keberagaman serta konsep dakwah dengan penuh kelembutan, seperti yang juga dilakukan Walisongo dan jaringan pesantren dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, bukan melalui invasi dan pemberangusan tradisi masyarakat lokal.

Walisongo: Pemukul ‘Gong’ KeIslaman Nusantara

Pada ranah perdebatan yang serius, tentu akan muncul sebuah kesimpulan bahwa Walisongo bukan satu-satunya pelopor gerakan dakwah Islam di Nusantara. Banyak bukti dan penjelasan mengenai perkenalan Islam dengan masyarakat Nusantara dilakukan oleh banyak tokoh pendakwah. Mereka disebutkan berasal dari Gujarat –India-, Cina, semenanjung Arab dan lainnya, namun keberadaan Walisongo bisa menjadi ikonik menarik dalam sejarah Islam di Indonesia khususnya tanah Jawa. Pertama, karena mereka terdiri dari keterwakilan tokoh tanah asal penyebar Islam. Dan yang kedua adalah pendekatan dakwah yang dipakai merupakan hasil analisis kondisi sosial dan watak masyarakat lokal Nusantara.

Gerakan dakwah Walisongo dimulai pada abad ke-14, mereka tinggal dan melakukan syiar Islam di beberapa wilayah penting di pantai utara pulau Jawa, yakni Surabaya, Gresik dan Lamongan untuk belahan Jawa bagian timur, Demak, Kudus dan Muria untuk daerah Jawa bagian tengah, serta Cirebon untuk tanah Jawa bagian barat.

Walisongo berhasil melakukan gerakan dakwah dengan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural masyarakat Jawa pada saat itu. Tradisi dan kebiasaan lokal serta keberagaman watak masyarakat tanah Jawa mampu dipahami sebagai peluang untuk mengenalkan Islam. Walisongo mengadopsi kebiasaan-kebiasan yang ada dan berlaku di tengah masyarakat sebagai pintu masuk untuk menyajikan tema keIslaman secara lebih mengena. Bukan dengan cara mendebat kebiasaan sekali pun mereka berhadapan dengan keyakinan agama dan kepercayaan yang telah dianut terlebih dahulu oleh masyarakat lokal.

Agus Sunyoto, dalam atlas Walisongo menjabarkan bahwa konsep “wali songo” merupakan pengambilalihan dari konsep kosmologi Nawa Dewata atau sembilan dewa, yakni dewa-dewa penjaga delapan mata angin ditambah satu dewa di titik pusatnya. Kedudukan dewa-dewa itu kemudian digantikan oleh manusia-manusia yang dicintai Tuhan, atau para wali yang berjumlah sembilan (songo). Jadi konsep Wali Songo merupakan pengambilalihan dari konsep Nawa Dewa Dewata yang bersifat Hinduistik menjadi konsep sembilan wali yang bersifat sufistik. Di kalangan penganut ajaran sufi ada sembilan tingkat kewalian dari mulai wali quthub sampai wali khatam, seperti disebut oleh Ibnu Araby dalam Futuhat Makiyyah.

Konsep gerakan dakwah Walisongo dalam menanamkan akidah Islam di antaranya dilakukan dengan menggunakan sarana mitologi dan adat istiadat ataupun simbol-simbol masyarakat yang saat itu masih beragama Hindu-Budha.
– Terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran wudlu yang melambangkan delapan jalan Budha.
– Sunan Kudus menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid (setelah masyarakat Hindu tertarik kemudian dikenalkan bahwa dalam Al-Quran juga terdapat surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Indonesia bermakna sapi)
– Mitologi-mitologi atau kisah dewa-dewa kemudian disisikan akidah Islam yang mengatakan bahwa dewa-dewa asal-usulnya adalah keturunan Nabi Adam.
– Konsep Mo-Limo yang sebelumnya versi Hindu-Budha yang isinya adalah bahwa seseorang untuk mendapat kesaktian harus Mo-Limo: daging (mamsha), ikan (matsya), minuman keras (madya), bersetubuh (maithuna) dan bersemedi (mudra), kemudian oleh Sunan Ampel diganti menjadi : masyarakat Islam: Moh Madat (makan candu), Moh main (judi), Moh Maling, Moh Minum dan Moh Madon.
– Berdakwah dengan membuat gending-gending Jawa yang berisikan ajaran Islam (sinom dan kinanti) dan wayang karena saat itu gending dan wayang sangat disukai masyarakat. []

Komentar