oleh

Ini Misi Dibalik ‘Aksi Nekat’ Sejumlah Aktivis Lingkungan di PLTU Cirebon

CIREBON (CT) – Terkait aksi nekat 12 aktivis lingkungan internasional di crane pengangkut batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanjapura, Kabupaten Cirebon dua hari lalu, Greenpeace Indonesia berkomitmen akan tetap melakukan perlawanan dan mengajak masyarakat dan organisasi lingkungan lainnya untuk melawan dan menolak pembangunan PLTU.

Dikatakan Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting, saat ditemui CT di Jakarta, Selasa (17/05), untuk melawan Industri batubara yang sedang massif di Indonesia, dengan mega proyek 35000 MW program pemerintahan Joko Widodo, tidak bisa dilakukan sendiri. Perlu adanya kekuatan besar dari organisasi lainnya seperti 350 Indonesia, Jatam, Walhi, dan yang paling penting masyarakat yang terdampak.

“Kita harus membangun gerakan. Kita ingin menjadi bagian dari gerakan anti batubara. Greenpeace ingin menjadi bagian gerakan yang besar. Kita tidak mau menjadi satu organisasi yang melawan. Justru kami ingin terpimpin, komitmen kami di situ,” ujar Ginting yang didampingi Direktur Eksekutif Rapel, Moh Aan Anwarudin, dan 350 Indonesia, Bejo Kurniawan.

Ginting sapaan akrabnya menilai, mega proyek 35000 MW yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo bukan untuk rakyat. Akan tetapi, untuk menghidupkan eksis strategi industri batubara yang sudah diambang senja. Pasalnya, tren penggunaan batubara di dunia sudah berkurang, negara-negara yang di Eropa, Tiongkok, dan Amerika, India sudah menghentikan penggunaan batubara dan beralih pada energi terbarukan.

“35000 MW akan menambah kematian dini semakin banyak. Yang saat ini saja, berdasarkan penelitian yang kami lakukan, 6500 kematian dini pertahun, kalau semakin banyak pembangunan PLTU bisa tembus 21 ribu kematian dini,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Ginting mengatakan, pihaknya siap berkomitmen dan membantu kapanpun untuk melakukan pendampingan terhadap masyarakat terdampak di PLTU Cirebon. Namun, ia meminta agar kepada organisasi lainnya bergerak bersama untuk menjadikan kekuatan besar, dan tentunya masyarakat terdampak yang harus di depan.

“Harus masyarakat lokal yang memimpin. Kita orang luar, mudah dipatahkan. Intinya kita siap. Kita akan membangun aksi agar lebih menarik. Lebih meluas melibatkan lebih banyak orang. Kita punya alat-alat digital yang bisa digunakan. Kita tidak bisa sendiri, harus bareng-bareng,” pungkasnya.

Berdasarkan berita sebelumnya, aksi nekat yang dilakukan koalisi organisasi lingkungan internasional, adalah agenda break free. Dimana agenda tersebut dilaksanakan pada tanggal 11-14 Mei di seluruh dunia.

Agenda tersebut adalah bentuk penolakan dan perlawanan masyarakat dunia terhadap penggunaan fossil fuels, yang telah berkontribusi besar merusak iklim dunia yang menyebabkan pemanasan global. Agenda break free sendiri diinisiasi oleh 350 global, yang akhirnya membentuk sebuah koalisi bersama organisasi lingkungan dan masyarakat dunia, salah satunya di Indonesia. (Riky Sonia)

Komentar