oleh

Imlek, Legenda Nian Pemakan Manusia

KONON, sebelum Dinasti Qin, tanggal perayaan permulaan sesuatu tahun masih belum jelas. Ada kemungkinan, awal tahun bermula pada bulan 1 semasa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou di China. Bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalendar Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari, selalu ditambah setelah bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tukng ramal) dan Zhou (menurut Sima Qian). Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan, bahwa tahun Tionghoa berawal pada bulan 10 tahun 221 SM. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun sampai sekarang.

Menurut legenda, dahulu kala, Nián adalah seekor raksasa pemakan manusia dari pegunungan (atau dalam ragam hikayat lain, dari bawah laut), yang muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa. Untuk melindungi diri merka, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada awal tahun. Dipercaya bahwa melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil panen. Pada suatu waktu, penduduk melihat bahwa Nian lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah. Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kerta merah di jendela dan pintu. Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Adat-adat pengurisan Nian ini kemudian berkempang menjadi perayaan Tahun Baru. Guò nián yang berarti “menyambut tahun baru”, secara harafiah berarti “mengusir Nian”.

Sejak saat itu, Nian tidak pernah datang kembali ke desa. Nian pada akhirnya ditangkap oleh Hongjun Laozu, seorang Pendeta Tao dan Nian kemudian menjadi kendaraan Honjun Laozu.
Di negerinya sendiri Tiongkok, tahun baru Imlek pernah dilarang di seluruh negeri. Ini terjadi ketika Tiongkok  baru merdeka pada 1912 dan berdiri sebuah negara bernama “Tionghoa Bin Kok” yang dikenal sebagai “Republik Tiongkok” di bawah Presiden Dr. Sun Yat Sen. Ketika bangsa Tionghoa dijajah bangsa Manchu. Mereka yang mengaku sebagai bangsa Han sudah membaur dengan bangsa Boan (Manchu) itu.

Dari catatan yang ditulis Marcus A.S. dalam Hari-hari Raya Tionghoa (2002), pada saat itu Sun Yat Sen pernah mencoba akan mengganti tahun baru Imlek (pesta musim semi) dengan tahun baru masehi, yang biasa dirayakan setiap 1 Januari. Tetapi larangan ini gagal, bahkan gagasan tersebut dimanfaatkan sebagai alat propaganda pihak Kumchantang (Komunis) di bawah Mao Tse Tung (Mao Ze Dong), pemerintah Kuomintang, katanya ingin mengganti kebudayaan Tiongkok dan perhitungan imlek dengan penanggalan Yang-lek (tahun masehi) yang menurut pihak Komunis berbau imperialisme Barat.

Di Indonesia, Sin-cia atau Tahun Baru Imlek pernah tidak  dirayakan dengan meriah. Ini terjadi  setelah pemerintah penjajahan Jepang. Tidak  bisa dirayakannya Sin-cia ini tak tanggung-tanggung, hingga empat tahun lamanya,  dari 1945 sampai 1949. Pada awal 1946 setelah Jepang ditaklukan dan dua kota Hiroshima dan  Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat. Saat itu kalangan etnis Tionghoa bergembira ria, seperti lepas   dari belenggu penjajahan.

Pada zaman Jepang etnis Tionghoa pun banyak yang ditangkap dan dipenjarakan, sehingga mereka sangat menderita. Namun, saat itu Sin-cia tak dapat dirayakan. Situasi negara ketika itu belum tenteram dan  ibu kota Jakarta masih  dalam kondisi “siap siaga”.
Dalam catatan  Marcus juga disebutkan, pada 1948 atau  tahun ketiga setelah  bangsa Indonesia bebas penjajah Jepang. Hati bangsa Tionghoa (yang  waktu itu belum menjadi  warganegara Indonesia, merasa  tersayat akibat perang saudara di Tiongkok.  Karena perang saudara itu, telah membuyarkan harapan mereka tentang “Satu  Tiongkok” yang makmur dan diindahkan.

Tahun Baru Imlek ini di Tiongkok dan di berbagai negara di tempat ada Hoa-kiauw (Tionghoa perantauan) dirayakan dengan meriah. Malah pada masa lalu dirayakan selama 15 hari penuh, dari tanggal 1 Cia-gwee sampai tanggal 15 Cia-gwee dirayakan sebagai hari raya Cap Go Meh. Ketika itu di Indonesia pun dilakukan semacam itu. Lima belas hari penuh toko-toko mereka tutup, berbagai kegiatan terhenti. Beberapa hari menjelang tahun baru Imlek orang Tionghoa bersembahyang pada Toapekong Dapur (Cao Kun Kong).

Sehari sebelum jatuhnya tanggal 1 Cia-gwee, orang Tionghoa pergi ke pasar untuk berbelanja keperluan sembahyang pada arwah leluhur mereka. Sudah mnejadi tradisi mereka akan membeli “kue keranjang” yang dikenal dengan nama “dodol Cina”, karena pembuat kue keranjang berasal dari negeri Cina saat itu. Ada tradisi kuno yang melarang seorang wanita Tionghoa yang ditinggal mati suaminya sebanyak dua kali untuk menyiapkan sajian sembahyang.

Tradisi sembahyang tahun baru Imlek ini dianggap sangat penting. Begitu pentingnya, sehingga ada anekdot yang dikenang sampai sekarang. Seorang calon menantu yang tak mampu membelikan “kue keranjang” dan “sepasang ikan bandeng” ditolak menjadi “memantu” oleh pihak keluarga perempuan. (NMN)***

Komentar