oleh

Hukum dan Politik Caleg 2019

Oleh: Sutan Aji Nugraha

Memang benar, sebagian besar masyarakat Indonesia hampir belum memiliki persiapan sama sekali dalam rangka menghadapi pesta demokrasi ataupun kelanjutan pesta lima tahunan ini, terbukti masih ada yang belum bisa move on dari kekalahan Pilkada serentak kemarin. Sehingga mereka merasakan bulan atau tahun politik hanya sebuah event lima tahunan, tak merasakan istimewanya sama sekali. Bahkan banyak dari kita masih melakukan praktik-praktik layaknya tahun-tahun zaman otoratorian 32 tahun seperti biasa, korupsi, manipulasi, indisipliner dengan alasan klasik.

Hal itu tak dapat dipungkiri, bilama memperjuangkan cita-cita politiknya dengan setulus jiwa dan raga. Untuk itu, seharusnya kita harus mempunyai persiapan-persiapan untuk menjalankan ibadah demokrasi lima tahunan dengan landasan hukum serta nilai-nilai politik di tiap individu dan tim pemenangan masing-masing.

Cocok dengan hasratnya negara yang berperang-perangan, peperangan dapat di bagi atas dua jenis. Pembagian dimaksudkan berdasarkan pertentangan yang benar-benar nyata. Dengan bahasa lain, bagian yang satu dengan lainnya, tidak saling menutupi, melainkan benar-benar terpisahkan.
Perang jenis pertama, yaitu: Perang yang dilakukan oleh negara ceroboh kepada negara lain dengan memiliki maksud untuk memeras dan menindas. Perang jenis kedua, ialah: Perang yang disambut oleh satu negara terserang untuk menghindar diri dari serangan dan atau membebaskan diri dari negara pemeras dan penindas yang sudah berlaku.

Kita namakan saja perang yang dimaksud jenis pertama perang “penindasan” dan perang kedua “perang kemerdekaan”. Kebanyakan peperangan yang dijalankan pada zaman feodal dikala negara merebut negara, di benua Asia, Afrika dan Eropa, yang sering kita kenal dalam cerita dan dongeng adalah perang penindasan. Perang penindasan yang dilakukan di zaman kapitalisme ini kita sebut “perang kapitalisme”. Hasratnya peperangan kapitalisme itu ialah:

Pertama: untuk merebut bahan-pabrik serta bahan makanan dari negara yang hendak ditaklukkan itu. Kedua: untuk merebut pasarannya negara takluk dan negara jajahan itu buat menjualkan barang pabriknya negara menang atau negara penjajah. Ketiga: Untuk menanamkan modal kaum penjajahan dalam kebun tambang, pabrik, pengangkutan, perdagangan serta bank asuransinya di jajahan dan dikuasainya itu.

Di masa sekarang ini, tantangan daripada pengendalian nafsu atau pengelolaan/manajemen nafsu telah menemukan wujud yang bervariasi. Konsumerisme merupakan hal yang fenomenal seiring dengan kemajuan teknologi keinginan manusia untuk memiliki kebutuhan pun atau materi untuk memenuhi syarat pergaulan yang terus-menerus dibangkitkan ole proyek-proyek iklan yang semakin menggila. Inilah sebuah peradaban terjadi ketika kegilaan manusia atas materi maupun kekuasaan. Dan semua itu, ditempuh “dengan menghalalkan segala cara”.

Upaya pembenaran atau rasionalisasi dan segala macam cara taktik maupun strategi untuk merebut dan mempertahankan serta menutup-nutupi pemerintah agar kekuasaan berjalan sesuai dengan kehendaknya, bukan atas dasar hajat hidup orang banyak yang telah menjadi fokus perhatian catatan politik sekarang ini. Secara tidak langsung, politik itu sendiri menjadi komoditi masyarakat sekarang ini. Sehingga politik dan masyarakat politik pun dijadikan alat pembenaran atas legitimasi rakyat.

Diakui ataupun tidak, hukum adalah sebuah dasar yang mengatur tata cara berperilaku sehingga hukum diberi kedudukan yang tinggi diatas segalanya, begitupun berpuasa hukumnya wajib di bulan Ramadhan. Pada dasarnya, hukum tidak dapat berubah sesuai dengan keinginan individu, halal menjadi haram ataupun sebaliknya. Dan bisa diartikan hukum di republik ini memiliki 2 (dua) sifat, yakni sifat sebagai perintah dan sifat sebagai janji. Kedua sifat tersebut memiliki tata nilai yang mempunyai sifat imperatif, yang artinya sebagai perintah yang harus dilaksanakan dengan sungguh dan sebuah janji yang harus ditepati.

Namun jika semua hal diatur oleh hukum maka Negara atau pemerintah kita masuk ke dalam kategori Negara fasis sehingga diperlukan nilai-nilai dalam politik untuk mengikat sekaligus mengatur individu-individu, seperti nilai demokrasi, keadilan, kemanusiaan dan solidaritas. Semestinya Calon Legislatif (Caleg) baik lokal, regional maupun nasional mampu memproduksi kader-kader yang memiliki track record gemilang dan cemerlang, baik di secara hukum ataupun politis.

Penulis baru mampu mengambil salah satu dari caleg Daerah Pemilihan (Dapil) 5 Kabupaten Cirebon, yaitu Qorib, SH., MH. Dia adalah salah seorang mantan aktivis gerakan mahasiswa Sosialis yang disegani di zamannya. Tak ada seorang pun yang berani menghadapinya secara face to face maupun kelompok, mengapa demikian? Sebab dia memang sudah mendarma baktikan hidupnya untuk masyarakat banyak sekalipun laras panjang sering berada di kepalanya.

Keberanian dan solidaritas yang ia ciptakan selama berkawan mampu memberikan kontribusi bagi hidup keluarga, teman dan masyarakat tempat tinggalnya. Saya beberapa sempat ketemu dengannya, berbincang masalah politik dan bertanya soal kasus-kasus hukum yang marak terjadi di Indonesia dan Cirebon, sebab disitulah keahliannya, ya bidang hukum dan advokasi masyarakat.

Dalam kesempatan diskusi pernah saya bertanya kepada Bung Qorib, “Bung, kenapa anda tidak masuk ke partai politik? (bukan politik; ia selalu terlibat dalam perpolitikan)”, dia menjawab sembari tertawa terkekeh-kekeh, “Belum Bung, ada saatnya saya masuk ke dalam partai politik dengan ditandai rambut saya dipotong pake silet”, lanjut kita semua terbahak-bahak.

Sudah lama tak mendengar kabar dari kawan ideologis saya yang satu ini, dan ternyata dalam status social media (sosmed), Bung Qorib sudah masuk partai politik dan menjadi salah satu caleg dapil 5 dengan nomer urut 2 Partai Perindo. Sungguh mengejutkan, rasa yang mencampur aduk dalam diri saya namun juga ada rasa optimis kalau ada individu yang memiliki dasar pengetahuan dan rekam jejak yang teruji alam. Pikir kembali saya, ya memang berjuang dimana saja dan dalam wadah apa saja, kita harus turut mewarnai dinamika kebaikan dan kebenaran dalam proses tersebut sebab kita memiliki nilai lebih dari kebanyakan masyarakat politik yang ada saat ini. Kesadaran harus didasari oleh optimisme seperti diatas tadi oleh sebab itu, saya pun optimis jika teman, sahabat sekaligus Saudara QORIB mampu mengemban amanah sebagai perwakilan dapilnya.

Oleh sebab itu, persoalan-persoalan harus memiliki wiyah-wilayah tersendiri dan lingkupnya masing-masing sehingga menghindari clash effect antara setiap wilayahnya. Berjalanlah sesuai dengan relnya masing-masing, sehingga tidak ada istilah politisasi agama dan hukum, hukum agama lebih dominan dibandingkan hukum negara serta agama dijadikan alat politik untuk pembenaran atau rasionalisasi atas kepentingan untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan.

Jadikanlah setiap peristiwa adalah guru yang berharga agar kehidupan di masa yang akan datang akan menjadi lebih adil, sejahtera dan demokratis. Tanggung jawab moral harus disertai di setiap aspeknya.

Penulis adalah Pengamat Politik Cirebon. Tinggal di Kota Cirebon

Komentar