oleh

Hindari Hoaks (1)

Oleh Dadang Kusnandar
Jamaah Pengajian NU Kota Cirebon

KUTBAH Jum`at yang disajikn Eman Sulaeman Syahri di Mesjid Al-Ikhlas Jalan Pangeran Drajat Kota Cirebon (18/8/07) yang baru lalu menyoal penyebaran berita bohong/ hoaks, menjadi inspirasi tulisan ini. Seketika saya teringat kembali pada ujaran ahli komunikasi Jalaluddin Rakhmat.

Ketika itu sekira tahun 1999 di rumah Kang Jalal di Jalan Kebaktian III di wilayah Kiara Condong Bandung, ia mengatakan dunia maya yang disodorkan internet sesungguhnya bukan merupakan pendalaman intelektual melainkan pendangkalan intelektual.

Orang yang mengakses berbagai aplikasi internet, malah bertransaksi elektronik, boleh jadi ia kurang mengenal lingkungannya sendiri. Barangkali ini global paradoks sebagaimana digambarkan John Naisbitt.

Pada kutbah di siang yang cukup meranggas hari itu, Eman juga mengingatkan adanya keuntungan memasuki dunia maya.

Keuntungan dimaksud adalah manakala gawai yang digenggam di tangan mengakses sesuatu yang bermanfaat, misalnya e-book atau amazon.com serta beberapa situs yang menambahkan ilmu pengetahuan kepada neter/ nitizen/ warganet.

Plus minus realitas maya sangat bergantung pada pengguna gawai itu sendiri. Kenyataan bahwa kini telepon genggam/ gawai kerap digunakan untuk menyebarkan berita/ informasi yang tidak dan belum dikonfirmasi akurasinya.

Ini yang kemudian memunculkan budaya copas (copy paste) yang bisa saja sang penyebar informasi tidak membaca dan menyimak isi informasi tersebut, tetapi langsung dishare ke mana-mana.

Jika pun dibaca, sang penyebar tidak cermat dan tidak mengkonfirmasi isi berita/ informasi itu kepada yang lebih paham.

Apa jadinya apabila gawai berfungsi untuk hal-hal sedemikian? Reaksi penerima informasi terbelah, pro dan kontra.

Dan biasanya tertulis kalimat sebarkan kepada grup Anda, seakan-akan merupakan panggilan jihad ~informasi yang belum tentu benar ini dalam sekejap menyebar. Sebagian penerima bahkan menyisipkan kalimatnya sendiri alias diedit sesuai dengan keinginan/ kepentingan berdasar ego dan emosi subjektifnya.

Semakin heboh bobot informasi yang disebar, semakin tergerak warganet menyebarkannya. Celakanya berita/ informasi jenis ini kadang include ancaman, bila Anda tidak menyebarkan kepada minimal 10 orang maka jangan salahkan apabila Anda akan menerima musibah pada suatu hari.

Emosi penerima informasi sejenis ini teraduk. Ketika ada komentar berseberangan, ia menangkisnya dengan dalil dan atau pengetahuan yang dipunyai sebagai penguat argumentasi.

Dengan demikian sebuah gambar yang diposting berikut sedikit kalimat di gambar/ foto tersebut, atau kalimat panjang berisi hujatan kepada seseorang/ institusi dan sebagainya ~menambah panjang deret pendangkalan intelektual sebagaimana dimaksud Jalaluddin Rakhmat.

Akan begitukah seterusnya menyikapi banjir teknologi yang hampir tiap saat terbaca melalui gawai di genggam tangan kita? Menengok sejenak ke belakang, untuk memposisikan shahih atau dhoif sebuah hadis Nabi Muhammad saw, para ahli hadis meneliti keabsahannya melalui sanad dan matan.

Sanad artinya kejelasan perawi/ yang meriwayatkan. Matan artinya materi/ isi/ bunyi hadis yang juga dapat dilakukan melalui kemampuan akal sehat. Itu sebabnya banyak hadis yang gugur manakala dalam penelusuran diketahui salah seorang perawinya adalah pendusta.

Dikisahkan seorang yang meriwayatkan sebuah hadis pada suatu saat ketahuan berpura-pura memberi makan seekor binatang padahal di telapak tangannya tidak terdapat makanan, maka hadis yang sanadnya seperti ini seketika gugur.

Sebagai agama pembawa rahmat bagi seluruh alam, Islam mengajarkan etika/ moral dan kecerdasan intelektual kepada seluruh penganutnya. Artinya jikalau memperoleh sebuah informasi, agama yang kita cintai ini mengajarkan sikap tabayun. Secara moral tabayun memungkinkan kita untuk menguji keabsahan informasi.

Dan secara intelektual, tabayun menyegerakan kita untuk tidak serta merta meneruskan berita bohong/ sampah informasi/ hoaks.***

Komentar