oleh

Dua Murid Ternama Syekh Abdul Mukhyi di Cirebon (1)

Oleh : Bintang Irianto

Nama Syekh Abdul Muhyi tak asing lagi bagi para warga di Pamijahan, Tasikmalaya, Cirebon dan Jawa Barat karena sosoknya diyakini sebagai salah seorang wali Allah yang memiliki segudang karomah. Sebenarnya kalau di tinjau dari silsilah, Syekh Muhyi ini bukan saja seorang Ulama yang sangat ternama di wilayah Jawa Barat. Akan tetapi, sebenarnya Abdul Muhyi juga merupakan seorang keturunan bangsawan, dari Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar 1650 Masehi atau 1071 Hijriah dan dibesarkan oleh orangtuanya di Kota Gresik.

Sang Syekh ini melakukan perjalanan dan belajar keagamaan kepada Ulama-Ulama ternama dari Timur Tengah melalui Aceh untuk belajar juga pada kajian tasawuf kesalah satu Ulama pada saat itu yaitu Syekh Rauf Al-Singkili adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala). Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia, ini juga di catat oleh Azyumardi Azra dalam bukunya yang sangat terkenal “Jaringan Ulama Nusantara”. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta’wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.

Pada usia 27 tahun Syekh Muhyi beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana selama dua tahun. Setelah itu diajak oleh Syekh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji.

Dalam perjalannya diabad ke abad 17, Syekh Muhyi sebelum ke Pamijahan Tasikmalaya menetapkan dirinya dulu di Cirebon sekitar 6 tahun untuk mengajarkan beberapa pelajaran Agama seperti Fiqih, Aqidah dan lainya, sekaligus dalam kajian tasawuf mengajarkan tarekat Syatariyyah ke beberapa muridnya di Cirebon. kajian Tarekat Syatariyyah ini terdokumentasikan di Kraton kacirebonan, maka kemudian tarekat Syatariyyah ini berkembang melalui murid-muridnya ke Cirebon dan sekitarnya.

Calon Kyai Yang berguru ke Syekh Muhyi

Pada saat bermukin di Cirebon, Syekh Muhyi kedatangan dua remaja yang bakal menjadi Ulama besar diwilayah Cirebon yaitu Kyai Muqoyyim Buntet dan Kyai Musa Wanantara Talun. Saat itu usia kedua Kyai ini sekitar 16 dan 17 tahun, mereka berdua belajar beberapa Ilmu Keagamaan seperti Fiqih, Tarekat, Aqidah, Hadits, dan lainya, sekaligus juga belajar Ilmu Hikmah kepada Sang Guru ini.

Kedua Kyai ini bertemu dengan Syakh Muhyi pada waktu yang berbeda, kalau Kyai Musa Wanantara saat dirinya mendengar kedatangan sang guru ini dari tanah Aceh, kalau Kyai Muqoyyim melalui Srengseng Indramayu saat beliau mencari Ayahandanya yang berada di Kraton Kanoman, merupakan salah seorang Qaddi (Hakim Agama). Pertemuan dua remaja ini dengan Syekh Muhyi memang sangat diketahui oleh dirinya, sehingga beliau memahami bobot dan bebet keluarganya serta kecerdasanya kedepan.

Pada saat belajar kepada sang Syekh ini, keduanya mempunyai pendalaman yang berbeda saat mendalami pelajaran keagamaan. Kyai Muqoyyim lebih menonjol kepada Ilmu Fiqih, Aqidah, dan tarekat sehingga beliau pernah menulis bukunya yang menjelaskan tentang fiqih, peninggalan tulisan beliau berada di Buntet Pesantren. Sedangkan Kyai Musa Wanantara lebih menonjol kepada Ilmu Tarekat dan beberapa Ilmu Hikmah.

Kedua Kyai Mengembangkan pesantren

Setelah mengajarkan banyak ilmu agama kepada kedua Kyai ini, lantas syekh muhyi melanjutkan perjalananya ke Tasikmalaya dan pada akhirnya menetap di Pamijahan dan membikin tulisan tentang ajaran Martabat Tujuh. Sedangkan kedua muridnya yaitu Kyai Muqoyyim dan Kyai Wanantara mengembangkan ilmunya dengan membikin pesantren di daerahnya masing-masing.

Kyai Muqoyyim setelah perjalanan hidupnya di umur 95 tahun melanjutkan pesantrenya yang pernah di porak porandakan Belanda dengan mendirikan Pesantren Buntet dan mempunyai cucu yang melanjutkan pesantrenya. Dan kedua cicitnya nya yaitu Kyai Sholeh yang mendirikan Pesantren Benda merupakan pesantren Unik di Wilayah perkotaan, dan Pesantren Buntet yang dilanjutkan kepada Kyai Abdul Jamil, keduanya adalah Putera Kyai Muta’ad yang menikahi cucu putrinya Kyai Muqoyyim.

Sedangkan Kyai Musa Maharshishiddiq mengembangkan ilmunya dengan mendirikan Pesantren di daerah wanantara dan dilanjutkan oleh beberapa keturunannya, dan pesantren yang hingga saat ini masih dipelihara oleh keturunannya adalah Pesantren Maharshishiddiq. Dalam kehidupannya Kyai Musa menikahi tiga wanita. Istri pertama Kyai Musa adalah Nyai Masturinah dan mempunyai empat anak, 1. Kyai Maskiyah, 2. Kyai tangeni, 3. Kyai Nursiyam, 4. Nyai Khodijah dan 5. Nyai Hafal Qur’an (Tidak Mempunyai keturunan). Dari keturunan ini kebawahnya, sekarang berada di wilayah Wanantara kecamatan Talun. **

Komentar