oleh

Docang, Kuliner Para Wali yang Masih Lestari

CIREBON (CT) – Docang, namanya mungkin belum setenar empal gentong atau nasi jamblang. Padahal, makanan khas Cirebon ini termasuk kuliner yang memiliki citra rasa yang berbeda dan terkategori makanan yang sehat. Jadi, sempatkan menyantapnya manakala singgah di Cirebon.

Nama docang sendiri merupakan singkatan dari kacang dibodo (dibacem) atau tempe bungkil (dage) yang menjadi bahan utama dalam kuah docang ini. Sejarah docang tak lepas dari perjalanan penyebaran agama Islam di tanah Cirebon.

Dari segi tampilan, docang mirip lontong sayur. Isinya tauge, rajangan daun singkong rebus atau daun pepaya, lontong, dan taburan parutan kelapa di atas kuah kental berwarna kemerah-merahan. Tak ketinggalan kerupuk yang khusus didatangkan dari Kecamatan Plered, Cirebon.

Rahasia kenikmatan docang adalah kuah rebusan dage atau kacang bungkil. Rasanya gurih menggugah selera. Ingin merasakan nikmatnya docang, coba datang di Warung Docang Bu Aas,yang berada di Pertigaan Pamijahan Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon.

Warung cukup sederhana, dengan berdindingkan anyaman bamboo ini. Setiap harinya ramai dikunjungi pembeli, mulai dari warga sekitar hingga luar daerah yang sengaja datang ingin menikmati docang sehat selalu, buatan Ibu Aas. Docang Ibu Aas memiliki perbedaan yakni dagenya melimpah ruah dalam setiap porsinya. Tujuannya tak cuma agar rasa gurih berlipat, namun juga wangi rebusan dage merebak.

Kuah docang yang gurih dan pedas serasi dengan potongan lontong yang lembut. Lontong di warung ini begitu spesial karena wangi. Kemudian keberadaan sayur singkong dan tauge akan memberi cita rasa segar. Daun singkong dan tauge yang direbus setengah matang membuat teksturnya tidak layu. Saat dikunyah masih ada rasa krenyes-krenyes.

Menurut sang pemilik, docang itu ini makanan para wali di eranya dulu. Selain enak, docang juga makanan yang sehat.

“Ini makanan, sehat bebas kolestrol, sayuran semua tidak pakai daging dan lemak jeroan,” tutur Aas yang sudah berjualan docang selama 10 tahun.

Menurutnya, docang terbuat dari lontong yang diiris-iris kecil, ditaburi parutan kelapa muda, irisan daun singkong dicampur dengan toge yang telah direbus. Kemudian disiram kuah panas yang berisi dage  yang dihancurkan, sehingga mengapung di bagian atas kuah.

Sebelum disajikan, ditaburi kerupuk kecil-kecil berwarna putih, sehingga membuat rasa gurih semakin terasa di lidah. Harganya pun cukup meriah, Ibu Aas membandrolnya hanya dengan Rp. 4000 per porsinya. Bukanya pun mulai pukul 09.00 WIB hingga 17.00 WIB.

“Kalau yang membuat kurang terampil itu rasa kuahnya bisa pahit, dari daun singkongnya itu,” kata Aas.

Sembari mengiriskan lontong ke piring, Ibu Aas  menceritakan kisah menarik mengenai asal muasal terciptanya makanan tersebut. Ternyata asal muasal Docang berawal sejak jaman para wali. Dikisahkan, saat itu ada seorang pangeran yang sangat membenci para wali karena menyebarkan agama Islam di pelosok Jawa. Pangeran itu berencana untuk meracuni para wali.

“Pangeran itu yang membuat jenis makanan baru dari sisa-sisa makanan para Sultan yang tidak habis. Setelah itu dia hidangkannya ke para wali yang sedang berkumpul di Masjid Agung Keraton Cirebon,” katanya.

Akhirnya, rencana jahat itu berhasil. Docang yang disuguhkannya itu dimakan para Wali. Tetapi ajaibnya, racun yang dicampurkan ke dalam docang itu tidak berpengaruh. Bahkan, setelah memakan docang itu, para wali justru menyukai masakan tersebut.

“Makanya sampai sekarang makanan ini masih menjadi makanan khas Cirebon karena dikenal sebagai makanannya para wali. Apalagi kalau menjelang puasa dan Maulid Nabi Muhammad SAW, pedagang docang pasti banyak kumpul di sekitaran Masjid Agung, dan keraton, karena sejak dulu tradisinya sudah seperti itu,” pungkasnya. (CT.115)

Komentar