oleh

Cirebon Kota Budaya dan Sejarah?

Oleh: Sudrajat (Pengamat Sosial)

The Gate of Secret (gerbang rahasia) demikian tagline yang  dipilih Pemerintah Kota Cirebon sebagai city branding untuk mendongkrak pariwisata Kota Cirebon. Pemilihan tagline itu tentu bukan tanpa alasan. Kota Cirebon, Jawa Barat yang teretak di pesisir pantai utara jawa, memang menyimpan banyak rahasia. Karena dalam perkembangannya, peradaban kota ini tumbuh dalam sejarah yang tak bisa dipisahkan dari kota pusat penyebaran Islam yang sangat penting pada abad ke 15 atau sekitar tahu 1470 yang dibawa oleh Syech Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) dan Syech Idlofi Mahdi. Bahkan menurut filolog  Cirebon, Rafan Hasyim berkeyakinan, Laksamana Cheng Ho pernah singgah di Cirebon, berdasarkan naskah Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Pangeran Arya Cerbon pada 1720.

Torehan sejarah tersebut, membuktikan bahwa Kota Cirebon menyimpan “rahasia” kebesaran yang tak sedikit turut mewarnai sejarah perkembangan peradaban masyarakat Cirebon saat itu. Telah banyak bukti peninggalan sejarah dan budaya yang telah diwariskan seperti situs, bangunan bersejarah Keraton Kasepuhan, Keraton Kacerbonan, Gua Sunyaragi, Komplek Pemakaman Sunan Gunung Djati dan berbagai situs lainnya yang tersebar luas di sekitar kota ini.

Namun sayang, cerita kebesaran tersebut hanya tinggal cerita. Upaya mentransformasikan nilai-nilai pengetahuan yang outentik (local indigeneous) belum banyak dikuak menjadi sumber inspirasi dalam memperkokoh karakter pembangunan Kota Cireboan sebagai kota sejarah dan budaya. Tanpa bermaksud mengerdilkan tagline tadi, faktanya Kota Cirebon hari ini sesungguhnya sedang mengalami “krisis identitas” sebagai kota budaya dan sejarah baik dari segi fisik kota maupun nilai. Nilai-nilai religi, humanitas, solidaritas sosial, kegotongroyongan, silih asah, silih asih, silih asuh sebagai warisan adiluhung, Perlahan tapi pasti mulai memudar.

Pun demikian penanda fisik Kota Cirebon seperti situs sejarah penting atau benda cagar budaya mulai tergerus atau beralih fungsi menjadi pusat perkantoran, pertokoan / perdagangan. Bahkan baru-baru ini Situs Sultan Matangaji di Kampung Melangse Kelurahan Karya Mulya Kecamatan Kesambi Kota Cirebon juga hancur. Situs tersebut merupakan tempat bertapa Sultan Matangaji bertahun-tahun. Matangaji adalah julukan bagi Sultan Shafiudin, beliau merupakan Sultan ke V dari Kesultanan Kasepuhan Cirebon yang bertahta pada 1753-1773. (https://www.citrust.id/).

Sejak Kota Cirebon ditetapkan didalam RPJMD Jabar sebagai “Metropolitan Cirebon Raya”,  disebutkan bahwa peran dari Wilayah Metropolitan Cirebon Raya dikembangkan sebagai metropolitan budaya dan sejarah, dengan sektor unggulan wisata, industri, dan kerajinan.

Sebagai konsekuansinya infrastruktur pendukung memang telah diarahkan guna mempermudah konektivitas baik jalur darat, laut bahkan udara, dengan berbagai kota di sekitarnya. Seiring dengan terbukanya aksesibilitas tersebut, tentu saja amat berpengaruh terhadap mobilitas sosial, ekonomi dan politik. Gaya hidup masyarakatnya pun nampak sedang bertransformasi dari masyarakat “rural” menuju masyarakat “urban”. Dari gemeinschaft menuju gesellschaft.

Sayangnya lompatan perubahan tersebut, tak diantisipasi oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) pembangunan di Kota Cirebon. Nilai-nilai lokal yang tumbuh dan berakar kuat sejak ratusan tahun lalu mulai ternoda. Kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW-Kota) kehilangan konteks lokalitasnya. Baik dari aspek sosial, ekonomi dan budaya. Kebijakan tata ruang kota (spatial) hanya mengejar investasi mercusuar dengan segala kemegahannya. Namun menegasikan unsur-unsur kekuatan karakter (value) Kota Cirebon. Ruang publik dirampas untuk menyokong kepentingan yang sifatnya private.

Ruang sosial (social spatial) dimana masyarakat bisa membangun nilai-nilai kekerabatan, solidaritas sosial, kebersamaan semakin menciut. Mereka rakyat kecil terus terdesak ke gang-gang sempit, bau, becek dan kumuh karena tak mampu melawan massivenya pembangunan fasilitas-fasilitas bisnis modern. Hak para pejalan kaki di pedestarian dan track khusus bagi pesepeda yang layak, aman dan nyamanpun tak tersedia dengan amat cukup di Kota Cirebon. Kota ini seperti belum “ramah huni” bagi semua warganya. Akumulasi dari semua itu, tak heran jika “ketegangan sosial” yang diekspresikan dalam tindak kriminal, apatisme, masa bodoh, permisif, dan radikal semakin menggejala dan akut di kota ini. (*)

Komentar