oleh

“Bongkar-Pasang” Brand Kota Cirebon, Mana yang Paling Cocok?

Citrust.id – Globalisasi, era yang menihilkan batas teritorial juga demografi, menciptakan ruang kompetisi bagi kota beserta masyarakat di dalamnya agar selalu siap memugar dan mematut diri.

Pembangunan berkelanjutan menjadi konsekuensi logis agar kota mampu mengekpresikan karakteristik unik yang dimilikinya, menetapkan tujuan ekonomi, kultur, dan politik dalam kaitannya untuk membedakan dirinya dari wilayah lain demi bisa berkompetisi dengan baik agar menarik sumberdaya, wisatawan, dan penduduk.

Karenanya, penting bagi sebuah kota untuk memiliki brand sebagai arah gerak pembangunan kota tersebut dalam konteks global, bukan hanya konteks lokal.

Cirebon, Kota yang pada 2018 genap berusia 648 tahun ini, dengan statusnya sebagai Pusat Kegiatan Nasional di Provinsi Jawa Barat, belum memiliki brand yang diusung untuk dapat memunculkan ciri khas dan keunikan yang dimilikinya.

Dalam perspektif pembangunan, hal ini menjadi persoalan. Karena penting bagi sebuah kota untuk memiliki branding (pencitraan) sebagai arah gerak pembangunan kota dalam konteks global, bukan hanya konteks lokal.

Yang harus menjadi catatan, City Branding bukan sebatas membuat slogan atau logo, tetapi harus berpijak dari ruh yang dimiliki. Ruh yang menjiwai segala aktivitas kota, baik itu jiwa warganya, watak birokrasinya, maupun ketersediaan infrastruktur penunjangnya.

Ruh di sini juga bisa ditelusuri dari sejarah dan potensi yang dimiliki Kota Cirebon.

Potensi Kota Jadi Dasar Brand City Cirebon

Berangkat dari identifikasi potensi Kota Cirebon yang mendukung pembentukan brand, mesti didasarkan pada kondisi eksisting Cirebon dan aspek historis.

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan oleh Kavaratzis (2004), menemukan bahwa untuk menuju city branding bisa digunakan pendekatan primer yang akan digunakan untuk menganalisis kesiapan Kota Cirebon. Pendekatan ini digunakan karena merupakan tahap yang paling berhubungan dengan ilmu perencanaan kota dalam hal intervensi, yakni Strategi Lansekap (Landscape Strategy), Proyek Infrastruktur (Infrastructure Projects), Struktur Administrati dan Organisasional (Administrative and Organizational Structure), dan Perilaku Kota (City’s Behaviour).

Pendekatan tersebut bisa diaplikasikan dengan mengidentifikasi peninggalan sejarah berupa bangunan pusaka yang bisa dijadikan destinasi wisata: Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, Gedung Bunder, Keraton Kacirebonan, Kaprabonan, Sejumlah Masjid Tua, Taman Air Gua Sunyaragi, Gedung British American Tobacco (BAT) dan masih banyak lagi. Daftar bangunan pusaka ini bisa dilihat di website resmi Kota Cirebon (http://www.cirebonkota.go.id).

Selain kaya destinasi wisata sejarah, Cirebon juga memiliki seabrek atraksi wisata budaya dan tarian juga kesenian tradisional yang hingga saat ini masih dijalankan.

Kekayaan budaya tersebut ditunjang dengan aksesibilitas yang cukup tinggi. Letaknya yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan, karena menjadi simpul pergerakan antarkota/wilayah seperti: DKI Jakarta – Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kota Cirebon memiliki dua stasiun kereta api, yakni Stasiun Kejaksan dan Stasiun Prujakan. Terminal hingga Pelabuhan, Jalur tol Cipali hingga Bandara Kertajati.

Kota Cirebon dari “Brand ke Brand”

Melalui Visi Misi, Pemerintah Kota Cirebon dari periode ke periode kerap merumuskan brand untuk Kota dengan luas 37,36 km² ini. Namun dengan segala faktor, brand-brand tersebut tak lebih dari slogan yang selesai di permukaan: spanduk, gapura, serta proyek pengadaan barang.

Beberapa brand yang sempat dipromosikan Pemerintah Kota Cirebon dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah sebagai berikut:

1. Cirebon Kota Wali
2. Cirebon Kota Berintan
3. Kota Jasa dan Niaga
4. Smart City
5. Cirebon Raya

Tentu brand-brand ini akan terus bertambah, jika tak ada upaya serius pemerintah kota untuk merumuskan City Brand yang benar-benar bisa menerjemahkan keunikan dan kekayaan sejarah dan budaya yang dimiliki Kota Cirebon. []

Komentar