oleh

Bong Cina yang Hilang (2) – Masjid Tan Tjin Kie di Sukadana

-dok OB

SALAH satu masjid di Desa Sukadana Kecamatan Pabuaran yang awalnya dibangun Tan Tjin Kie.

 

Oleh: Nurdin M Noer*

DARI pemerintahan Kerajaan Ching di Tiongkok, Tan Tjin Kie juga dianugerahi penghargaan Mandarin Klas II atau disebut To Ham pada tahun 1893, dan tahun 1908 penghargaan tersebut dinaikkan menjadi Mandarin Klas I atau Anteng Waleng Towanham Thong Hong Tay Hu. Penghargaan ini luarbiasa, karena berlaku juga bagi tiga generasi di atasnya, yakni ayah-ibu, kakek-nenek dan buyutnya. Penghargaan tersebut diperolehnya, karena ia memberikan banyak bantuan saat terjadi bencana alam dan banjir di Tiongkok.

Ketika ia meninggal dunia, upacara pemakamannya dilakukan secara militer dan dihadiri para pembesar Kota Cirebon dari kalangan Eropa dan tokoh masyarakat Arab, pribumi dan kalangan Tionghoa sendiri. Ia dimakamkan di Pekuburan keluarga, yang letaknya sekarang di Kampung Dukuh Semar, Gang Tumaritis Kota Cirebon. Namun makam Tan Tjin Kie itu sekarang sudah rata dengan tanah, menjadi bagian dari halaman rumah salah seorang warga di sana.

PADA 13 Februari 1919 saat Tan Tjin Kie meninggal dunia. Siang harinya digegerkan dengan adanya burung dares (burung hantu) yang ngelabak terbang melintasi atas rumahnya di Jl. Pasoeketan dari arah utara-barat dan timur-selatan. Saat itu juga dari kamar Tan Tjin Kie terdengar jeritan para keluarga yang menungguinya. Mereka menyangka sang mayor itu pingsan, namun ternyata meninggal dunia.

Pada hari Hauw Thie-Kong (sembahyang kepada Tuhan) yang jatuh pada 8 Februari, ia nampak segar dan menyatakan turut bersembahyang. Ia dilarang anak-anaknya, namun Tan Tjin Kie tak memedulikannya. Ia rupanya lupa pada nasihat doket agar banyak istirahat dan tidur tepat waktu.

Sebenarnya sejak memasuki tahun baru Januari hingga 12 Februari 1919 Tan Tjin Kie masih nampak segar bugar. Pada tahun baru itu Tan Tjin Kie berjanji kepada dr. Gotlieb akan menyumbang dana sebesar 10.000 gulden untuk pembangunan rumahsakit di Kota Cirebon. Demikian pula ia menyumbang pembangunan mesjid di Luwunggajah.

Nama aslinya Tan Keng Bie. Ia lahir dari keluarga bangsawan kerajaan Tiongkok keturunan dinasti Cheng. Ia mendapat gelar Sengchi dari Kaisar Cina saat itu. Sebuah gelar yang tak bisa diperoleh semua orang. Dari catatan anaknya, Tan Gin Ho, dalam besluit penganugerahan gelar tersebut diawali dengan pernyataan sang kaisar, yakni atas nama Tuhan Allah. Kaisar pun memberi pujian kepadanya.

Tan Tjin Kie adalah seorang feodal yang menguasai bisnis perdagangan gula pada awal tahun 1900an. Karena keuntungannya yang menggiurkan, ia membangun pabrik gula di Desa Luwunggajah pada tahun 1906. Namun pada masa Jepang diduga pabrik tersebut dihancurkan, sehingga tak berbekas sama sekali. Karena banyak jasanya terhadap pemerintah Hindia Belanda ia dianugerahi pangkat Mayor Tituler.

Karena ia memiliki nama besar, maka mediamassa saat itu Cheribonsche Courant memuat laporannya pada tanggal 14 Februari dan 3 April 1919, Weekblad voor Indie (20 April 1919) dan suratkabar Bijlage van het Bataviaasch Nieuwsblad van Zaterdag tanggal 19 April 1919. Suratkabar tersebut memuat gambar besar-besar mengenai riwayat hidup keluarga Tan Tjin Kie.
Tan Tjin Kie pernah membangun masjid di Desa Sukadana Kecamatan Pabuaran. Arsitekturnya sangat unik dan tampak sangat kokoh dengan fondasi yang cukup tinggi. Sejak dibangun sekitar awal 1919 keasliannya masih sangat terjaga. Masjid ini didirikan atas permintaan seorang tokoh pejuang bernama Raden Setia Pradja pada tahun 1912, kepada Tan Tjin Kie pengusaha gula yang memiliki pabrik gula Leuweunggajah Pecinan. Masjid itu kemudian didirikan bersama dengan Istana Binarong dan Klinik Waled (sekarang RSUD Waled).

Seperti diungkapkan Dahnan (76), tokoh masyarakat Sukadana yang rumahnya berdekatan dengan masjid Sukadana. Area tempat masjid Sukadana didirikan kemudian ditinggalkan keluarga Tan Tjin Kie menjadi tanah tidak bertuan. “Karena dianggap tidak bertuan banyak pihak yang kemudian mengklaim tanah itu miliknya dan tidak segan-segan untuk menyuap kepala desa, termasuk pihak-pihak yang mengatasnamakan Keraton Kasepuhan. Tetapi akhirnya semuanya bisa dimentahkan, hingga status tanah itu sampai sekarang Status Quo dan tetap akan digunakan untuk kepentingan ummat Islam,” kata Dahnan. “Keluarga Tan Tjin Kie, seperti Tan Gin Ho dan Tan Gin An yang tinggal di Bogor kadang-kadang datang dan menanyakan keberadaan masjid Sukadana. Mereka merasa sangat lega, bahwa masjid itu masih terpelihara dengan baik, dan akan merasa sangat kecewa bila masjid itu rusak atau tidak dipelihara.” (NMN/ob)***

*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.

Komentar