oleh

Beras

Catatan DADANG KUSNANDAR*

SEINGAT saya, dulu para orang tua sering mengatakan, “Kalau makan harus habis. Jangan sisakan nasinya sebutir pun. Nanti nasinya nangis”.

Ujaran ini menyiratkan betapa besar penghargaan terhadap nasi. Perubahan dari beras ke nasi butuh kerja. Untuk memperoleh beras butuh alat tukar atau relasi sosial. Sebelum beras (padi) banyak proses yang dilalui. Bibit padi, petani, pupuk, regulasi negara dan sebagainya.

Impor beras kembali jadi perbincangan. Pakar pertanian, politisi, menteri perdagangan, hingga wakil presiden dan presiden–angkat bicara. Beras yang “dinobatkan” sebagai makanan pokok begitu menyita perhatian.

Ada yang menyoroti dari harga beras yang lebih sering naik ketimbang stabil. Ada yang membahas dari menurunnya produksi beras nasional lantaran sudah 2 (dua) tahun Indonesia tidak mengimpor beras. Ada pula yang memberi input bahwa beras/ nasi bukan makanan pokok bangsa Indonesia. Dan ada pula yang beranggapan bahwa Indonesia belum mampu melakukan swasembada beras.

Berbagai opini menyangkut beras sebagaimana dilansir pemberitaan yang teramat cepat mencerminkan satu hal: Orang butuh makan. Asupan nutrisi berupa karbohidrat yang diperlukan untuk bergerak/ bekerja. Bila tidak ada asupan karbohidrat maka tubuh menjadi lemas dan (oleh kebanyakan orang dianggap/ menyebabkan) aktivitas menurun.

Pertanyaannya benarkah bila tidak makan nasi maka aktivitas kita terganggu?

“Sagu itu makanan asli Indonesia. Itu terpahat jelas di relief Candi Borobudur. Saat kerajaan Hindu masuk, orang India bawa beras ke sini,” kata Prof. Nadirman Haska, peneliti sagu.

Dari awal sebelum makan nasi, masyarakat Indonesia sudah terlebih dahulu makan sagu.

Fakta sejarah itu tak lepas dari cadangan pohon sagu alami yang bisa menjadi sumber karbohidrat alternatif, pengganti beras. Indonesia memiliki 1,4 juta hektar (ha) lahan sagu yang tersebar di hutan tropis Sumatera, Kalimantan, Maluku hingga Papua. Namun, Papua dan Papua Barat menyimpan cadangan 1,2 juta ha.

Dari paparan di atas agaknya kita tidak perlu heboh manakala harga beras terus naik, terlebih lagi menyebarkan hoax sekitar perbincangan beras. Kedua masih ada alternatif produk pertanian Indonesia di luar beras, misalnya sagu, jagung, umbi rambat dan sebagainya. Ketiga, gonjang ganjing pembicaraan beras jangan sampai membuat kita saling curiga satu sama lain. []

*Kolomnis, tinggal di Cirebon.

Komentar