oleh

Babak Baru Polemik PLTU 2 Cirebon: Izin Kembali Digugat

Cirtrust.id – Babak baru polemik kasus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 Cirebon berkapasitas 1X1000 MW, yang berdiri di daerah Kecamatan Astanajapura, dan Mundu bergulir kembali, setelah masyarakat terdampak Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon memenangkan gugatan Izin Lingkungan PLTU 2 pada 19 April 2017 lalu, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Kamis (14/12).

Gugatan kedua dilayangkan pada 4 Desember 2017 kemarin, dengan objek gugatan Izin Lingkungan baru, yang diterbitkan kembali oleh Dinas Penenaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Barat.

Izin Lingkungan tersebut diterbitkan pada 17 Juli 2017‎, untuk menggantikan Izin Lingkungan yang telah dicabut melalui proses pengadilan. Namun terdapat kejanggalan terkait penerbitan izin tersebut, dimana pada waktu itu proses peradilan masih berlanjut.

Bahkan sehari sebelum putusan PTUN Bandung, yakni pada 18 April 2017, ‎terjadi kesepakatan pinjaman antaran PT. Cirebon Energi Prasarana (CEPR) (loan agreement) yang merupakan owner PLTU 2 Cirebon. Padahal, JBIC sudah diperingatkan oleh penggugat melalui surat yang dibuatkan oleh Walhi, agar jangan ada kesepakatan apapun sebelum putusan pengadilan.

DPMPTSP yang dulunya bernama Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT) menyatakan banding‎, pada 21 April 2017 atau dua hari setelah putusan PTUN Bandung. Pada 20 Juni 2017, BPMPT mengajukan dokumen banding, dan pada 6 Juli 2017 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta mengeluarkan nomor registrasi untuk banding tersebut.

‎Dalam proses banding, kegiatan pembangunan masih tetap berjalan, dan secara diam-diam PT. Cirebon Energi Prasarana (CEP) owner PLTU 2 Cirebon mengajukan permomohon Izin Lingkungan baru kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jabar untuk dikaji, dan kemudian ditindaklanjuti oleh DPMPTSP.

Baca Juga: Babak Baru Polemik PLTU 2 Cirebon: Izin Lingkungan Dinilai Tak Transparan dan Nihil Partisipatif

Pada 17 Juli 2017, akhirnya Izin Lingkungan baru untuk PLTU 2 diterbitkan, setelah mendapat jaminan dengan terbitnya surat rekomendasi dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada 29 Mei 2017. Isi surat itu menjamin bahwa pembangunan PLTU 2 tidak bermasalah.

Hal itu berdasarkan ‎Peraturan Pemerintah (PP) nomor 13 tahun 2017 tentang RTRW Nasional. Artinya, pembangunan PLTU 2 masih bisa berlanjut walau tak sesuai Perda RTRW Kabupaten Cirebon. Padahal, PP nomor 13 tahun 2017 baru diterbitkan pada bulan April tahun 2017, dimana proses peradilan gugatan hukum Izin Lingkungan sudah dan masih berjalan.

Selain itu, pasal 50 PP nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan‎ juga dijadikan dasar penerbitan Izin Lingkungan yang baru tersebut oleh DPMPTSP.

‎Sehari setelah Izin Lingkungan baru diterbitkan, DPMPTSP menarik permohonan banding, dan meminta PTUN Bandung untuk memberitahu PTTUN Jakarta dan penggugat. Pada 1 Agustus 2017 PTUN Bandung menerima surat pencabutan banding dari tergugat.

Dan pada 16 Agustus 2017 PTTUN Jakarta mengabulkan pencabutan banding tersebut. Akan tetapi, pengadilan baru menginformasikan kepada penggugat melalui surat pada 18 Agustus 2017, surat itu baru diterima penggugat lima hari setelahnya.

Menyikapi hal itu, Walhi melayangkan surat somasi pada 15 November 2017. Surat somasi bernomor 019/SKB/LBH/Bdg/XI/2017 ditujukan kepada ‎Kepala DPMPTSP, Dadang Mohamad agar mencabut Izin Lingkungan yang baru, karena prosesnya cacat prosedur. Namun, somasi tersebut dianggap angin lalu.

Atas dasar itu, JBIC merasa ada jaminan dari pemerintah, dengan kata lain proyek yang ia biayai tidak bermasalah, dan pada November 2017‎, akhirnya bank asal Jepang itu mencairkan dananya untuk termin pertama.

“Izin Lingkungan baru tersebut cacat hukum, baik secara substantif maupun prosedural.‎ Pasal 50 PP nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, yang mengatur perubahan Izin Lingkungan atas KTUN yang masih sah dan berlaku, tidak dapat digunakan dalam penerbitan Izin Lingkungan yang baru ini,” terang Syahri Dalimunthe, ‎Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, yang menjadi kuasa hukum penggugat.

Selain itu, menurutnya Pasal 114a PP tentang perubahan RTRW Nasional juga tidak berlaku untuk Izin Lingkungan. Ditambah Izin Lingkungan baru tersebut tidak dilakukan secara transparan dan partisipatif. Dalam arti tidak melibatkan warga terdampak dan organisasi lingkungan hidup.

“Dengan demikian, Izin Lingkungan baru tersebut cacat yuridis, dan dapat dibatalkan oleh pemberi izin,” tegas Syahri.  (Citrust.id)

Komentar