oleh

Aktivis Perempuan Desak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Segera Disahkan

Citrust.id – Sejumlah kasus kekerasan seksual membuat masyarakat prihatin. Sebut saja kasus YY di Bengkulu, kasus BN, dua kakak beradik yang juga menjadi korban kekerasan seksual. Peristiwa tersebut memberikan pembelajaran, siapapun bisa menjadi korban. Pelakunya pun bisa siapa saja.

Dukungan sangat dibutuhkan oleh para korban. Tidak hanya sekedar ucapan simpati, tapi juga penanganan yang menyeluruh untuk mereka, baik itu dari bidang medis, psikis maupun sosial dan juga hukum.

WCC Mawar Balqis mencatat, hingga November 2018, tercatat 137 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan di Cirebon. Jumlah kasus yang tertinggi adalah kekerasan seksual yang mencapai 55,5 persen. Dari kasus kekerasan seksual yang dilaporkan tersebut, hanya 40 persen yang dilanjutkan hingga ke proses hukum. Jaringan Cirebon Untuk Kemanusiaan juga sering menerima pengaduan korban kekerasan seksual yang tidak dilanjut proses hukumnya.

Manajer Program WCC Mawar Balqis, Saadah, memaparkan, banyak hal yang menyebabkan para korban enggan melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Di antaranya adalah penanganan kasus yang masih belum berpihak pada korban, masih banyaknya anggapan bahwa korban adalah aib, dan masih banyaknya celah hukum yang bisa digunakan oleh pelaku untuk lepas dari sanksi hukum.

“Belum ada payung hukum yang jelas untuk menjerat tindak kekerasan seksual yang mereka lakukan,” kata Saadah.

Dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2018, Komnas Perempuan menyatakan, ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018. Jumlah tersebut naik dari tahun sebelumnya yang sebanyak 348.466 kasus. Bentuk kekerasan yang mendominasi adalah kekerasan seksual sebanyak 64 persen disusul kekerasan psikis 20 persen, kekerasan ekonomi 9 persen dan kekerasan fisik 7 persen.

Forum Pengada Layanan (FPL) WCC Mawar Balqis bersama Jaringan Cirebon Untuk Kemanusiaan telah melakukan kajian dan disksusi dengan berbagai elemen, termasuk dengan organisasi masyarakat, akademisi, tokoh agama, media, dan organisasi kampus, terkait perlindungan untuk masyarakat, terutama para korban kekerasan seksual yang korbannya pun tidak hanya perempuan.

“Perangkat hukum yang ada masih belum cukup menjawab kebutuhan para korban. Persoalan ini adalah tanggung jawab bersama sehingga keterlibatan multisektoral sangat dibutuhkan. Upaya pencegahan dan penanganan serta pemulihan adalah hal utama yang harus menjadi pertimbangan banyak pihak,” jelas Saadah.

Saadah menekankan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hadir untuk menjawab persoalan yang selama ini sering ditemui. RUU itu memiliki upaya yang fokus pada perlindungan dan pemulihan korban. Selain itu, RUU itu mengatur pencegahan, restitusi, rehabilitasi untuk pemulihan korban, reintegrasi, partisipasi masyarakat serta pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum.

“RUU ini juga merangkul semua lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengadaan layanan. Hal lainnya adalah adanya syarat bagi penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual harus terlatih menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Saadah.

WCC Mawar Balqis sebagai bagian dari Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan dan juga Forum Pengada Layanan (FPL) mendorong DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang.

“Kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama para korban kekerasan seksual. Apakah kita harus menunggu jatuh korban lebih banyak lagi? Tentu bukan itu yang kita harapkan. Kepedulian kita semua harus dibuktikan dengan segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,”, tegas Saadah. /haris

Komentar