oleh

Sunan Gunung Jati, Dakwah, dan Motif-motif Keramik Belanda (1)

Oleh Umar Alwi Muhammad

SUNAN Gunung Jati, siapa tidak kenal dengan tokoh populer satu ini? Salah satu dari wali sembilan yang menetap di Cirebon untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa. Sunan Gunung Jati adalah putra sultan Mesir, dari seorang istri bernama Syarifah Mudaim. Pangeran Arya Carbon dalam catatannya menulis, Sunan Gunung Jati punya adik. Wilayah kekuasaan serta tahta raja, pasca wafatnya Sultan Abdullah (raja Mesir), diwariskan kepada adiknya.

Dan Sang Sunan lebih memilih tinggal di tanah kelahiran ibunya, untuk mengajarkan agama Islam di Nusantara. Peran penyebaran agama Islam oleh Sunan Gunung Jati tidak diragukan lagi. Banyak catatan serta peninggalan membuktikan demikian. Di antaranya, catatan yang ditulis Snouck Hurgronje serta Tom Pires, juga bangunan-bangunan seperti keraton dan masjid di wilayah Cirebon. Hal demikian menjadikan bukti kuat, bagaimana Sunan Gunung Jati menanamkan Islam di masyarakat Caruban.

Sebagai figur, Sunan Gunung Jati sangat dinamis. Ia bisa menjadi seorang politisi, agamawan, juga pemimpin negara. Menjadi seorang politisi, sebab ia pandai memainkan taktik dan strategi-strategi dalam dakwah, serta penaklukan-penaklukan banyak wilayah. Di Sunda Kelapa, ia berhasil merebut wilayah dari Portugis. Di Palimanan (Gunung Gundul), berhasil memenangkan perang dengan Galuh Pakuan. Keberhasilan demikian tentu berdasarkan strategi serta kesiapan matang yang dipikirkan Sunan Gunung Jati sebelumnya.

Kemudian, masalah agamawan dan pemimpin negara, peristiwanya kurang lebih sama. Peradaban menjadi keunggulan dari Sunan Gunung Jati, yang dibuktikan lewat keberhasilannya mengislamkan wilayah Cirebon. Tentu saja sejarah ini menjadi daya tarik dalam pengembangan keilmuan, tentang metode dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Jati. Salah satu yang menjadi ciri dakwahnya sampai sekarang, adalah bertahannya asimilasi budaya antara pribumi dengan Arab. Ini yang kemudian berkembang menjadi istilah Islam Nusantara.

Antara budaya pribumi dan Arab dari kacamata dakwah, adalah proses bagaimana meleburnya nilai-nilai Islam ke dalam kebudayaan lokal. Sepanjang bisa dipertahankan, corak demikian akan menjadi suatu identitas bangsa. Serta masyarakat yang teguh memegang nilai-nilai Islam tanpa menghilangkan serta mengganti kebudayaan lokal aslinya. Hal ini dapat tercermin melalui bukti bahwa masyarakat dahulu lebih toleran dengan keyakinan Islam sebagai rahmatallil ‘alamiin. Bukti lainnya, benda-benda arkeologis semacam masjid beratap tumpang, kentongan, dan gapura yang berasal dari kata ghofuurun (ampunan)—yang kata imam Ghazali dari tafsirnya, adalah orang-orang yang diampuni dosanya.

*) Penulis bergiat di Lingkar Jenar.

Komentar