oleh

Suka Duka Penyadap Getah Pinus, Puluhan Tahun Tinggal di Dalam Hutan

Citrust.id – Puluhan tahun tidur di gubuk hutan tanpa toilet, tanpa kasur, apalagi penerangan listrik dan jauh dengan keluarga menjadi kehidupan Kuran (46) dan Sudar (44) kakak beradik asal Pemalang, Jawa Tengah, yang sudah puluhan tahun menjadi penyadap getah pinus di Blok Jahim Desa Maniis, Kecamatan Cingambul, Kabupaten Majalengka.

Pekerjaan tersebut terus dilakoni keduanya karena di kampungnya tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan, kalaupun ada tidak akan bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sekedar untuk hidup setengah bulan dari seluruh penghasilannya. Sementara mereka punya istri anak yang harus dihidupi dan sekolah.

Gubuk yang ditempati di perkebunan hutan pinus di Blok Jahim, Desa Maniis, Kecamatan Cingambul, Kabupaten Majalengka berjarak sekitar 7 km dari pemukiman penduduk. Gubuk berukuran 5 X 5 meter tersebut hanya difasilitasi tempat tidur dari kayu, bantal yang sudah lusuh, tanpa toilet apalagi lampu penerangan listrik. Untuk penerangan mereka mengandalkan lamu tempel minyak tanah, sedangkan untuk kebutuhan MCK, mereka harus berjalan lagi dengan jarak yang lumayan jauh.

“Di hutan mana ada listrik, penerangan pake lampu tempel, minyaknya beli ke kampung di desa setiap hari Jumat kami turun sekalian salat jumat sambil belanja beras untuk makan sehari-hari,” ungkap Kuran yang menjadi penyadap getah pinus sejak usia 26 tahun, Senin (05/03).

Setiap hari Kuran harus bangun pagi mulai pukul 04.30 WIB, solat subuh kemudian menanak nasi sebanyak 1 kilogram per hari untuk makan berdua. Lauk pauk seadanya karena harus menghemat, uang harus dikirim untuk keluaranya di Jawa Tengah. Setelah makan mereka langsung bekerja mulai pukul 06.00 WIB, agar lebih banyak memperoleh getah, sehingga lebih banyak pula uang yang diperoleh. Uang yang tidak seberapa harus bisa memenuhi kebutuhan hidup satu istri dengan lima anaknya.

Setiap pagi hingga sore hari Kuran terus menyusuri hutan mengeruk getah di batok kelapa yang menetes dari setiap pohon pinus, kemudian mengalihkanya ke badeng. Untuk memperoleh getah hingga satu badeng bisa berjam-jam. Setelah dua badeng dipenuhi getah, di angkutnya ke penampungan yang terletak di pinggir jalan untuk memudahkan pengangkutan saat Pegawai Kehutanan datang mengambil barang. Jarak ke penampungan lumayan jauh, bisa ber kilo-kilo meter untuk bisa terkumpul banyak butuh waktu cukup lama.

Selama bekerja puluhan tahun di hutan, Sudar dan Kuran mengaku tidak pernah menemukan binatang buas, malah ular pun nyaris tak pernah menemukannya. Paling hanya babi hutan.

“Di sini getahnya sedikit berbeda dengan wilayah Sulawesi. Kalau di perkebunan pinus di Toraja getah lebih banyak. Mungkin karena di Maniis ini cuacanya sangat dingin, sehingga getah yang keluar kurang,” ungkap Kuran yang pernah bekerja sebagai penyadap pinus Toraja selama lebih dari 10 tahunan. Namun kemudian pindah karena terlalu jauh dengan keluarganya.

Di Sulawesi menurutnya setiap bulan perolehan getah pinus bisa mencapai 1 tonan dengan harga jual mencapai Rp5.500 perkilonya, sedangkan di Hutan Jahim pendapatan getah per bulan hanya sekitar 5 kw dengan harga setiap kilogramnya sebesar Rp3.500.

Yang dikeluhkan mereka selain perolehan yang sedikit dan harga yang murah, pembayarnnya terkadang tidak tepat. Mereka baru mendapat pembayaran dari hasil penjualannya setelah empat hari bahkan lebih, alasannya uang belum dibayar dari pemerintah. Padahal uang sangat diperlukan untuk bekal hidup sehari-hari di hutan dan dikirim kepada keluarga.

Kebutuhan tidak hanya untuk makan, namun juga untuk minyak tanah, kaos tangan karena jika tidak menggunakan kaos tangan getah bisa rapat ke tangan dan untuk melepasnya harus menggunakan minyak tanah. Sementara minyak tanah harganya cukup mahal, untuk penerangan saja harus berbagi dengan yang lain.

Dua penyadap getah pinus ini mengaku pulang kampung sebulan sekali untuk menengok lima anaknya, itupun jika uang sudah terkumpul, namun terkadang lebih dari sebulan baru pulang manakala hasil penjualan getah belum terkumpul.

“Penghasilan dari kuli getah pinus tentu sedikit bila dibanding penghasilan orang lain, tapi bagi kami ini bisa cukup karena harus di cukup-cukupkan. Hidup harus menyesuaikan dengan penghasilan yang kita diperoleh. Mengajar keinginan menyesuaikan dengan orang lain tentu tidak akan bisa dan itu menurut saya sikap yang salah. Kami harus hidup sesuai yang kami mampu,” ungkap Kuran yang mengaku hanya tamat Sekolah Dasar ini.

Sementara itu Rahmat pemilik warung di jalan jalur Jahim-Panjalu mengungkapkan, para penyadap getah pinus hanya sesekali belanja ke warungnya untuk kebutuhan sehari-hari.

“Mereka biasanya belanja ke pasar untuk menyetok bahan makanan dan kebutuhan lainnya,” ungkap dia. /abduh

Komentar