oleh

Paltuding FTC 4

Catatan DADANG KUSNANDAR*

MEMBUMIKAN sastra dengan idiom Cirebon telah banyak dan sering dilakukan teman-teman sastrawan. Puisi, seni lukis, pembacaan cerpen/ naskah drama, tari, drama/ teater, seni kriya, musik, hingga diskusi/ obrolan di warung kopi ~pada prinsipnya adalah pengejawantahan sastra. Sastra yang dibumikan serta dibaktikan bagi pengukuhan lokus budaya.

Dua bulan belakangan ini, teman-teman muda pegiat sastra kembali berulah dan bertingkah di Cirebon. Sesuatu yang melegakan, setidaknya untuk pelipur atas tumbuh dan berkembangnya sastra yang dalam banyak hal masih menanti tangan-tangan kreatif untuk memompa kesadaran bersastra dalam kehidupan. Khususnya bagi anak-anak muda penerus sastra.

Penamaan paltuding sebagai maskot (lebih gagah dibanding tema) Festival Teater Cirebon (FTC) 4 tahun 2018 ini didasari pada peristilahan penunjuk arah. Konon hingga tahun 1980-an di pertigaan Kedung Jaya ada sebuah gambar tangan menunjuk ke arah Kota Cirebon dengan bahan dasar tripleks. Paltuding (dalam konteks FTC 4) bisa dirangkai pada keinginan mengarahkan teatrawan untuk terus berkarya. Ada pun arah telunjuk ke Kota Cirebon dapat dimaknai sedikitnya dua hal.

Pertama, telunjuk itu seperti menohok bahwa aktivitas sastra di Cirebon harus dibenahi. Kedua, ia jadi penyejuk atau sekadar utopia bahwa untuk menggali kekayaan sastra maka Cirebon lah tempatnya.

Hal pertama agaknya yang hendak dibidik Ade Fatchullah Hisyam dari Teater Tjaroeban tentang pemilihan maskot paltuding. Festival yang menampilkan karya teater dari 14 grup, pinjam bahasa Mang Aat : telah dilakukan Ade dengan berdarah-darah. Ia sadar betul bahwa teater mesti terus dibenahi secara menghidangkan sajian teater ke tengah masyarakat.

Tanpa diduga, tak lama usai Edeng Samsul Maarif berha-hai melalui pesan whatsapp, Ade singgah ke rumah saya. Membawa kabar paltuding. Kabar itu antara lain keinginan adanya catatan atas apa saja yang berkaitan dengan FTC 4. Kabar lain Ade berterima kasih atas kritik apa pun yang dialamatkan kepadanya. Katanya, kritik itu benar, rekruitmen penonton FTC secara pendekatan melalui sekolah kurang tepat. Namun ia berkelit ada sub program Apresiasi Sastra sebagai salah satu unsur penilaian pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, juga pelajaran Seni dan Budaya.

Perkelitan di atas diperkuat penjelasan Koernadi Khalzoem ketika duduk bersebelahan dengan saya di saat pentas Teater Sadajiwa di FTC 4. Alhasil perhatian ke panggung kurang fokus. Sedangkan pada monolog Studio Teater 50 Indramayu, saya salut melihat kematangan olah tubuh Candra N. Pangeran, ini pun sambil ngobrol bersama Mama Nurdin M. Noer.

Agaknya inilah perkelitan Teater Tjaroeban (penyelenggara FTC 4) menampilkan hasil karya keterampilan siswa SMK Negeri II Cirebon, bazar buku oleh Wahyudi, dan beberapa lukisan kanvas bertema wajah karya Dana Kartiman dari 2-8 April 2018 di Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang Cirebon.

Seingat saya penonton penting tapi ia bukan barang mati. Itu sebabnya perlu apresiasi usai pentas teater. Penonton tidak selesai sebagai pembaca buku acara atau narasi singkat yang disampaikan pembawa acara (mc). Sayang sekali hal tidak dilakukan Teater Tjaroeban sejak FTC 1, empat tahun silam.

Kendati demikian kerja keras yang telah dilakukan Teater Tjaroeban menampilkan FTC hingga bertahan empat tahun-tahun berturut-turut layak diacungi jempol. Selanjutnya tentu saja Ade FH alias Ade Bedul bisa lebih bagus lagi memanage festival teater cirebon tahun mendatang. Bekal empat kali pengalaman sudah cukup untuk memosisikan paltuding. Sebuah sindiran sekaligus penguat kreativitas teater di Cirebon yang kudu terus berbenah berkolaborasi serta bersimbiosa dengan zaman. Salam Teater!

*Penikmat Kesenian.

Komentar